Sabtu, 20 September 2008

Guru 1 - Maling 0


Tuhan menguji keimanan dan kesabaran kepada setiap umatnya, baik yang berprofesi pejabat, pedagang, guru, sampai maling kelas kacangan yang beroperasi dari rumah ke rumah.
Sabtu, 13 September kemarin, Tuhan menguji kesabaran seorang guru bahasa dan seni dengan hilangnya dompet serta Telepon genggam. Kejadiannya, sang guru sedang sendirian di rumah kontrakan, menjalani puasa akhir pekan yang sedianya akan dilanjutkan buka bersama teman-teman seprofesi. Sambil menunggu waktu buka, sang guru meluankan waktunya untuk beraktivitas di rumah kontrakan. Ia dengan cerianya membersihkan kamar mandi yang biasa digunakan oleh rekan-rekan satu kontrakan. maksud dalam hatinya, "Kebersihan adalah sebagian dari iman". Namun, ujian dimulai, seseorang yang mungkin dikenal masuk ke dalam rumah kontrakan, membuka pintu kamar Pak Guru Bahasa dan Seni yang asik bekerja di kamar mandi. Dompet, beserta telepon genggam raib dibawa kabur, untunglah komputer portabel (laptop) yang menjadi curahan hati sang guru bahasa dan seni tidak ikut dibawa kabur... seketika itu, Pak Guru Bahasa dan Seni mengetahui bahwa dompet dan telepon genggamnya raib... Ia ingin marah, jengkel, tapi dalam hati ia bergumam "Sudahlah...rezeki pergi, takkan lama".
begitulah Pak Guru Bahasa dan Seni menghadapi cobaan yang diberikan Tuhan. Senyuman, dengan senyuman, katanya... sampai sekarang, ia ingin marah tapi tetap tersenyum... yang belum bisa diikhlaskan hanya surat-surat penting yang ada di dalam dompet, sebab bagi orang yang mencurinya mungkin tidak akan berguna apa-apa, sedangkan bagi Pak guru sangat berarti... begitupula phonebook dalam HP yang sudah pasti akan hilang. dengan demikian hilang pula teman-teman yang selalu menjadi lawan komunikasi setiap harinya.

Tuhan juga memberikan cobaan kepada sang maling, saat itu sang maling diuji keimanannya, apakah dia akan kuat malawan nafsu untuk mencuri ataupun mengambil telepon genggam serta dompet yang ada di hadapannya, tapi ternyata ia gagal.. dompet beserta telepon genggam cepat dibawanya pergi.. tanpa rasa, tanpa peduli... ia langsung berpesta saat itu...

Tidak lama kemudian sang guru bahasa & seni + Maling menghadap Tuhan malam itu juga, Tuhan menghitung skor keduanya... Pak guru yang menghadapi cobaan dengan senyuman, serta maling yang kehilangan kendali nafsu mencuri...

Skornya adalah Guru 1 - Maling 0

Hasil tersebut membuat sang guru bahasa mendapat hadiah dari Tuhan, berupa telepon genggam baru yang lebih bagus dari telepon genggamnya yang hilang...
Dengan senang hati, Pak guru bahasa & seni meneri telepon genggamnya...

Selasa, 22 Juli 2008

BUKAN SULAP BUKAN SIHIR

BUKAN SULAP BUKAN SIHIR...
GURU BISA SULAP, MURID CENGAR-CENGI
R... (bagian 3)

*R.A. Hartyanto

Trik sulap kali ini akan mencoba masuk pada mata pelajaran matematika. Para pesulap biasa menyebut trik ini sebagai MATEMAGICAL MENTAL ARITMATIK, caranya adalah sebagai berikut.

Anda boleh meminta salah seorang murid untuk maju ke muka kelas untuk menjadi objek pertunjukan. Anda akan mencoba menebak angka pada otak murid Anda. Anda bisa mulai menulis prediksi Anda sebelum murid Anda mulai menulis angka pertamanya, sebagaimana Anda tahu bahwa angka Anda akan selalu dimulai dengan angka 2.

Angka berapa saja bisa ditulis. Sebagai contoh, 57420. Untuk membuat prediksi, letakkan angka 2 di depan angka tersebut dan kurangi 2 dari dua angka terakhir. Maka akan menjadi 257418.

Sekarang pada saat dia menulis angka keduanya di bawah yang pertama, Anda secara bersamaan (atau hampir) menulis yang lain di atasnya.

69430 (Anda)

57420

30569 (Murid)

Untuk setiap digit yang mereka tulis, Anda menulis angka yang akan membuat miliknya menjadi 9. Sebagai contoh, mereka menulis angka 7, Anda akan menulis angka 2 (karena 7 + 2 = 9).

Sekarang lakukan hal yang sama lagi. Segera setelah murid Anda menulis angka, Anda bisa secepatnya menulis satu angka.

81...

69430

57420

30569

184...

Saran:

Setelah Anda menulis prediksi Anda, tutuplah dengan selembar kertas, kemudian Anda bisa mengungkapnya dengan dramatis setelah kalkulasi selesai.

Pada akhirnya, mintalah salah seseorang murid Anda yang lain untuk menjumlahkan semuanya:

81526

+ 69430

+ 57420

+ 30569

+ 18473

= 257418

Dan ungkapkan prediksi Anda (257418) yang telah ditulis sebelumnya walaupun angka-angka itu belum dipikirkan...

Itulah Matemagic!

Selasa, 15 Juli 2008

BUKAN SULAP BUKAN SIHIR

BUKAN SULAP BUKAN SIHIR...
GURU BISA SULAP, MURID CENGAR-CENGIR...(bagian 2)

*R.A. Hartyanto

Masih dengan teknik sulap dalam pembelajaran, kali ini kita tidak akan membengkokkan sendok dan garpu, ataupun mengeluarkan burung merpati dari kantong celana, tetapi kita akan menciptakan sebuah ledakan kecil di kepala murid-murid kita...

Trik ini, sebut saja “Mantra” dapat diterapkan pada pelajaran bahasa. Pertama, mintalah murid-murid Anda untuk menuliskan sebuah kalimat di kertas masing-masing. Agar lebih meyakinkan, sebelum murid-murid Anda menuliskan kalimat masing-masing, mintalah mereka untuk mengacungkan pensil ataupun pulpen mereka ke arah Anda secara bersama-sama! Anda membalasnya dengan akting komat-kamit seperti sedang membaca mantra.

Setelah mereka menuliskan sebuah kalimat, gulung sepotong kertas tersebut hingga membentuk sebuah pipa seperti saat menggunakan teropong. Sekarang, mereka harus mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan lurus, dengan satu sisi telapak tangan menempel pada pipa kertas tadi, di dekat ujung terjauh dari mereka.

Kemudian minta mereka untuk membuka kedua mata mereka bersamaan...Wowwww...

Mereka akan terkejut melihat ada lubang di tengah telapak tangan mereka...

Yakinkan murid-murid Anda bahwa kalimat yang mereka buat telah menjadi mantra yang mampu membuat kertas tadi menembus tangan mereka! Meski pada akhirnya mereka akan menyadari tipuan ilusi yang Anda lakukan, setidaknya mereka senang dan tidak sabar menanti pertunjukan sulap Anda yang lain...

Tetapi jangan lupa, setelah pertunjukan sulap tadi, segera sampaikan secara perlahan materi tentang kalimat yang telah disiapkan untuk pembelajaran hari itu, sebelum murid Anda benar-benar semakin penasaran dan hanya tertarik pada sulap yang Anda berikan, bukan pada materi yang seharusnya diberikan.

Apakah trik sulap hanya dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa saja?

Tidak demikian, karena hal itu bergantung pada kreativitas guru dalam mengajar. Guru matematika misalnya, juga dapat menerapkan trik sulap dalam pembelajarannya, seperti apa trik sulap dalam pelajaran matematika? Mohon bersabar... kita akan ulas minggu depan...

BUKAN SULAP BUKAN SIHIR

BUKAN SULAP BUKAN SIHIR...
GURU BISA SULAP, MURID CENGAR-CENGIR...

*R.A. Hartyanto

Suatu kebanggaan bagi guru jika di muka kelas dapat membuat murid takjub, tertegun, dan terheran-heran. Rasa takjub itu kemudian menjadi rasa ingin tahu dan penasaran. Antusiasme yang tinggi itu adalah salah satu modal penting dalam pembelajaran. Bagaimanakah menampilkan pertunjukan yang menghibur sekaligus menarik perhatian murid? Salah satunya adalah dengan menciptakan sebuah pertunjukan sulap yang mencengangkan. Trik ini pernah saya gunakan ketika saya ingin menunjukkan kepada murid-murid saya bahwa tak selamanya mata dapat dipercaya...

Pertama mintalah salah seorang murid untuk maju ke muka kelas, posisikan dalam keadaan berhadapan dengan Anda! Sedangkan murid yang lain boleh mengikuti dari tempat masing-masing. Mintalah murid-murid Anda untuk menyentuhkan kedua jari mereka bersamaan sekitar 30 cm (12 inci) di depan wajah mereka. Apakah mereka melihat sesuatu yang aneh? Sekarang mintalah mereka untuk melihat melewati jari mereka ke arah Anda.

Mereka akan melihat sesuatu seperti sepotong sosis kecil di antara jari mereka. Ulurkan tangan anda dan raihlah “sosis’ itu. Berpura-puralah memasukkan sesuatu ke dalam mulut Anda dan mengunyahlah.

Minta mereka untuk melihat kembali jari mereka. Cringggg!!!.......Sosis itu telah menghilang.

Jumat, 18 April 2008

GURU KENCING BERDIRI KARENA KEPALA SEKOLAH KENCING ANGKAT SATU KAKI

Oleh : R.A. Hartyanto

Pepatah Tionghoa mengatakan “menyapu lantai tangga harus dari atas,” mengapa? Tentu saja karena bagian bawah selalu mendapat cipratan kotoran dari bagian atas, sedangkan bagian bawah tidak akan mampu menciprati bagian atas. Seperti halnya di sekolah, saat ini para guru sedang giat-giatnya melakukan inovasi, berbagai macam cara dan berbagai macam gaya dikaji, dipelajari, dan diterapkan. Siswa senang, tapi mengapa kualitas hasil belajar masih kurang? Ternyata karena kurang seimbang. Seperti judul diatas, KENCING ANGKAT SATU KAKI maka yang terjadi adalah oleng ke kanan oleng ke kiri. Ketidakseimbangan sistem pembelajaran di sekolah terjadi ketika para guru sibuk berinovasi sendiri-sendiri tanpa ada koneksi yang menjembatani antara guru yang satu dengan guru yang lain, terlebih antara guru mata pelajaran yang satu dengan guru mata pelajaran yang lain. Dalam hal ini yang harusnya mengambil peranan sebagai jembatan adalah kepala sekolah, ia sebagai pemimpin, panutan, dan anjungan sekolah. Segala upaya inovasi yang dilakukan guru memang tidak mampu mempengaruhi aktivitas kepala sekolah tetapi bila inovasi sendiri dilakukan oleh kepala sekolah maka sudah tentu akan mempengaruhi kinerja guru. Logikanya adalah murid diajar guru, sedang guru diajar kepala sekolah (meski ada yang mengatakan sekarang ini “murid belajar sendiri sedang guru hanya menemani”, lalu Kepala Sekolah ngapain?).

Terbukti ketika ada uji sertifikasi guru, banyak diantara peserta yang tidak lulus adalah mereka yang berpangkat Kepala Sekolah. Alasannya, mereka sudah bertahun-tahun tidak mengajar, hanya berkutat dengan masalah administrasi sekolah, mengurusi RAPBS, tanda tangan dan menghadiri undangan rapat di kantor Diknas. Padahal, mereka seharusnya bisa menjadi bukan hanya guru yang handal bagi guru-guru pengajar di sekolah, tetapi juga harus bisa menjadi motivator yang ulung bagi siswa, guru, dan orang-orang di sekitarnya. Bila seorang guru mata pelajaran mampu berinovasi dalam mata pelajaran yang ia kuasai maka seorang kepala sekolah harus mampu berinovasi dalam setiap mata pelajaran. Bila seorang Kepala Sekolah mampu mengatur kinerja guru-guru di Sekolah yang ia pimpin maka sepatutnya bila terjalin komunikasi yang baik antar anggota masyarakat sekolah. Ibarat sebuat halaman blog, maka Kepala Sekolah adalah alamat blognya sedangkan guru adalah setiap tulisan yang telah diposting di dalam blog tersebut, dan Siswa? Siswa adalah pengunjung setia yang selalu mendapat manfaat dari setiap catatan dan tulisan-tulisan yang selalu up date diposting. Melihat tugas serta tuntutan yang harus diemban oleh seorang Kepala Sekolah memang berat, tetapi apakah itu akan menjadi alasan bagi seorang Kepala Sekolah untuk tetap menjadi batu padat pada aliran sungai yang tenang?

Kamis, 20 Maret 2008

Karma Cinta dalam Naskah Drama "Tjitra"

KARMA CINTA DALAM DRAMA “TJITRA”

Analisis unsur-unsur drama sebagai naskah cerita / teks sastra

oleh : R.A. Hartyanto


A. Pengantar

Sebuah drama pada umumnya menyangkut dua aspek, yakni aspek cerita sebagai bagian dari sastra, yang kedua adalah aspek pementasan yang berhubungan erat dengan seni lakon atau seni teater, kedua aspek ini walaupun sepintas lalu seperti dapat terpisah, yang satu berupa naskah dan yang lain berupa pementasan, namun pada dasarnya merupakan suatu totalitas. Sewaktu naskah tersebut disusun telah diperhitungkan segi-segi pementasannya dan sewaktu pementasan tidak dapat menghindari dari garis unsur naskah.

Untuk mengevaluasi sebuah lakon , maka terlebih dahulu kita harus mengenal unsur-unsurnya dengan baik. Keterkaitan unsur-unsur dalam drama sangat erat hubungannya untuk membangun keharmonisan suatu lakon. Misalkan antara tema dan alur, suatu lakon akan gagal sekalipun mempunyai alur yang baik bila tema yang membarenginya kurang baik atau hampa sama sekali. Kalau tema dan alur sama-sama baik, dan keduanya serasa pula maka dapatlah diharapkan bahwa pementasan lakon itu akan baik dan berhasil. Jadi unsur-unsur drama itu harus dilihat sebagai suatu keseluruhan yang terpadu dan utuh. Tidak dapat disangkal bahwa penting sekali mempelajari serta memahami benar-benar segala unsur drama yang beraneka ragam itu. Tetapi adalah jauh lebih penting dan lebih berguna kalau kita mempelajari serta memahami benar-benar segala unsur itu sebagai keseluruhan yang membangun suatu lakon tertentu. Dengan kata lain, dalam mempelajari setiap unsur itu kita harus melihtnya sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang utuh. (Tarigan, 1989 : 80).





B. Analisis unsur-unsur Drama “Tjitra”

Ringkasan cerita

Tjitra adalah seorang anak pungut yang mulanya tak diketahui namanya, umur, serta orang tua yang sebenarnya. Dia dipungut oleh seorang Ketua Umum Pabrik Tenun Djawa Timur yang bernama Nj. Suriowinoto. Sejak saat itu Tjitra mulai ikut terlibat bekerja di pabrik tenun, pesonanya sebagai gadis remaja ternyata membuat kedua anak Nj. Suriowinoto jatuh hati kepadanya. Sutopo, anak dari hasil pernikahan pertama Nj. Suriowinoto sangat mencintai Tjitra namun tak pernah ia berani mengungkapkan perasaannya pada Tjitra. Berbeda dengan Sutopo, maka Harsono yang merupakan anak dari Nj. Suriowonoto hasil dari pernikahannya yang kedua lebih berani menyangkut masalah perasaan. Dan pada akhirnya kepada Harsonolah Tjitra kemudian menambatkan hatinya meskipun sebenarnya Harsono adalah tipe lelaki yang hanya memikirkan kesenangan dalam hidupnya. Masalah mulai muncul ketika ternyata Harsono memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarganya termasuk Tjitra untuk menikahi seorang janda muda yang kaya raya, tepat saat itu juga ternyata tanpa sepengetahuan Harsono, Tjitra mengandung anak hasil hubungan percintaannya dengan Harsono.

Dengan rela hati akhirnya Sutopo bersedia menikahi Tjitra sekaligus menjadi ayah dari anak yang dikandungnya, beberapa tahun kemudian Harsono datang kembali untuk menebus segala kesalahannya, harta benda peninggalan istrinya yang dulu kaya raya kini telah tiada karena dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Setelah mengetahui bahwa Tjitra telah diperistri oleh Sutopo dan darah dagingnya telah tiada akhirnya Harsono memutuskan untuk ikut bergabung dalam barisan jibaku, dan dengan cara itulah Harsono menebus segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya di masa lalu.

Analisis unsur-unsur drama :

  1. Tema

Sesungguhnya, tema suatu karya sastra (termasuk bentuk lakon) bukan pokok persoalannya, tetapi lebih bersifat ide sentral (pokok) yang dapat terungkapkan baik secara langsung, maupun tak langsung. (Cuddon dalam Indarti, 2006 : 49)

Sedangkan tema yang diangkat pada naskah drama “Tjitra” adalah mengenai karma cinta yang dijalani oleh anak manusia. Meskipun pada akhir cerita juga bisa dikatakan sedikit menyinggung tentang nasionalisme namun bila dirunut dari masalah-masalah yang dimunculkan sejak awal maka semakin mengarah kepada hal-hal yang berhubungan dengan karma cinta bagi anak manusia.

Hal ini bisa dilihat pada diri Tjitra yang telah melakukan kesalahan dengan berhubungan intim dengan Harsono hingga dirinya hamil, kemudian Harsono pergi meninggalkannya. Hubungan sembunyi-sembunyi yang akhirnya menyebabkan dirinya hamil itu pada akhirnya mendapat balasan yakni dengan beratnya beban mental yang harus ditanggung oleh Tjitra mulai dari ditinggal pergi oleh Harsono, hidup dalam keluarga yang kurang harmonis bersama Sutopo setelah sebelumnya acuh pada perasaan cinta Sutopo hingga kemudian Tjitra harus kehilangan buah hatinya.

Hal yang sama juga terjadi pada Harsono, ketika dia pergi meninggalkan Tjitra beserta keluarganya. Seperti pada penggalan dialog berikut ini :


HARSONO : (mendesak) Dan apa ? katakanlah !

TJITRA : (mengelak) Dari kenjataan mungkin ………. tetapi pergilah mas, pergilah ……….datang harinja mas akan datang lagi kesini ………. untuk menebus dosa. (Hal. 36)


Dialog yang berkesan mengutuk dilontarkan Tjitra kepada Harsono yang pada akhirnya Harsono memang benar-benar kembali untuk menebus dosa. Harsono yang telah melakukan kesalahan dengan lebih memilih hidup bersenang-senang bersama janda muda kaya-raya akhirnya juga tak juga menemukan kebahagiaannya hingga akhirnya sang janda muda mati dan harta kekayaannya dilimpahkan pada fakir miskin, Harsono hidup dalam rasa bersalah dan penyesalan, hingga akhirnya dia kembali menemui Tjitra dengan harapan untuk bisa menebus dosa. Maka terbuktilah apa yang pernah diucapkan Tjitra (Dialog diatas).

  1. Amanat

Amanat (message) dalam lakon adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada publiknya. Teknik menyampaikan pesan tersebut dapat secara langsung maupun tak langsung, secara tersurat ataupun secara simbolis (Satoto dalam Indarti, 2006 : 49)

Berangkat dari tema diatas maka dapat dilihat pula amanat drama “Tjitra” ini bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pada akhirnya juga akan ada balasan/akibatnya. Manusia tak seharusnya pergi dari kewajiban terhadap keluarga, terhadap pekerjaan, dan terhadap sesamanya.

  1. Alur (plot)

Alur (plot) adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat). Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menisgerakkan jalan cerita melalui perumitan kearah klimaks dan selesaian (Sudjiman dalam Indarti, 2006 : 50).

Secara khusus, berdasar atas pembagian secara garis besar, tahapan alur menurut Najid (2003 : 21) adalah sebagai berikut :

    1. Paparan (exposition), tahap cerita tempat pengarang mulai melukiskan sebuah keadaan sebagai awal cerita.

    2. Rangsangan (inciting moment), munculnya peristiwa atau kejadian sebagai titik awal munculnya gawatan

    3. Gawatan (rising action), tahapan cerita yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak. Dalam tahap ini konflik secara bertahap mulai terasa. Konflik dapat bersifat pribadi atau social.

    4. Tikaian (conflict), munculnya perselisihan antartokoh karena adanya kepentingan yang berbenturan namun tidak terselesaikan.

    5. Rumitan (complication), tahapan cerita yang menggambarkan konflik-konflik yang muncul mulai memuncak.

    6. Klimaks (climax), tahapan cerita yang melukiskan suatu peristiwa yang mencapai titik puncak. Bagian ini dapat berupa bertemunya dua tokoh yang sebelumnya saling mencari, atau terjadinya pertikaian antara dua tokoh yang saling bermusuhan.

    7. Leraian (failing action), bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan dari semua peristiwa yang telah terjadi pada bagian sebelumnya.

    8. Selesaian (denouement), tahap akhir cerita yang merupakan penyelesaian persoalan.

Sedangkan lebih umum dapat dikatakan bahwa tahapan alur yang terdapat pada naskah drama “Tjitra” adalah sebagai berikut :

  1. Klasifikasi/introduksi, bagian ini memberi kesempatan kepada penonton untuk mengetahui tokoh-tokoh utama seperti peran yang dibawakan mereka, serta memberi pengenalan terhadap permulaan problem/konflik.

Bagian ini dapat dilihat pada permulaan cerita, ketika mulai menginformasikan latar waktu serta perkenalan tokoh-tokoh yang ada dalam bentuk dialog antar tokoh.


SUTOPO : (tersejum) Ja, kita akan bekerdja lagi sekuat-kuat tenaga kita dik. Sudah empat bulan pabrik kita ini terhenti karena perang. Sekarang Pemerintah Balatentara memberi lagi kesempatan seluas-luasja untuk bekerdja terus. Zaman pembangunan sudah datang. (Hal.10)


SUTOPO : Harsono sebenarja baik djuga, tetapi selalu dimandjakan .Orang akan mengatakan aku dengki, kalau aku membitjarakan ini. Sebenarja lebih baik, djika aku diam sadja.(Hal. 12)

  1. Konflik, pelaku cerita mulai terlibat dalam suatu problem pokok. Di sini mulai terjadi insiden. Bagian ini dalam naskah drama “Tjitra” dimulai pada pemunculan Harsono di depan Tjitra dan Sutopo.


HARSONO : Selamat pagi tuan Sep beserta pelajannja jang manis.

SUTOPO : Harsono! Djangan bitjara begitu !

HARSONO : (duduk diatas medja tulis Tjitra) Apa salahnja. Aku berkata jang benar sadja. (mengerling Tjitra) Bukankah anak pungut kita, ratu dapur ini sudah naik pangkat sekarang… djadi pelajan. (hal. 14)


Konflik kemudian semakin mencapai puncak/klimaksnya saat Harsono meninggalkan Tjitra dalam keadaan hamil tanpa pernah Harsono ketahui.


HARSONO : (kesal) Ah engkau hendak mentjoba menakuti aku pula, kau anak pungut jang tak mempunjai asal-usul. (Tjitra diam, hanya memandangnya sadja. Harsono, seolah-olah gelisah dibawah pandangan gadis itu, kemudian tjepat lari keluar. Sedjurus Tjitra tinggal sendirian, berdjuan dalam bathinnya, kemudian ia berlari ke pintu). (hal. 36).


  1. Komplikasi. Terjadinya persoalan baru dalam cerita, beberapa watak mulai memperlihatkan pertentangan saling mempengaruhi dan berkeinginan membawa kebenaran ke pihak masing-masing sehingga krisis berkecenderungan melampaui yang lain, namun satu krisis lebih disebabkan dan diakibatkan oleh yang lain. Itulah sebabnya dinamakan komplikasi.

Bagian ini nampak pada naskah bagian ke III, yakni ketika Sutopo menikahi Tjitra untuk melindungi janin yang dikandungnya dari cercaan masyarakat umum. Namun setelah menikah, Sutopo tidak pernah benar-benar menjadi suami bagi Tjitra karena menganggap bahwa sebenarnya cinta yang dimiliki oleh Tjitra hanya diperuntukkan Harsono. Seperti yang telah digambarkan oleh dialog antara Sutopo dengan ibunya.


NJ. SURIO : Tetapi kau selama ini, tidak pernah djadi suami Tjitra yang benar, Bukan ?

SUTOPO : Tidakkah tjukup akau pandai main kemidi sadja, semuaja ini bukanlah hanja buat orang lain sadja, bukan ? (hal. 45)


  1. Penyelesaian. Setiap segi pertentangan diadakan penyelesaian, dan dicarikan jalan keluar, penyelesaian bisa sedih dan bisa menggembirakan. Bagian ini ada pada akhir cerita, yakni ketika Harsono datang untuk menebus dosanya, dan kemudian masuk barisan Jibaku.


HARSONO : Mas belum pertjaja djuga padaku. Djadikanlah Tjitra isteri mas jang benar! Pertjajalah kepadaku sekali ini ….. pergilah mas kedalam, aku akan pergi sekarang, ja masuk barisan Djibaku mas ! Aku selama ini adalah orang yang berkelana diatas dunia Tuhan ini dengan tidak ada keinsafan sama sekali, tidak ada tanggung djawab, tidak terhadap Tanah Air. Sekarang, terhadap Ibu dan Tjitra mas lah aku minta menunaikan kewadjibannya….. aku mint amaaf mas ….. Terhadap Tanah Air biarkan aku sendiri menunaikannya. Selamat tinggal mas, kirim salam kepada isteri mas dan Ibu. Biarlah beliau tidak bertemu denganku , djuga tidak akan gembira rasanja…..(Ia mengeluarkan tangannya, tetapi tidak diterima oleh Sutopo. Harsono menarik tangannya kembali). (hal. 59)

  1. Penokohan

Penokohan adalah proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementsan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Karenanya, tokoh-tokoh harus dihidupkan. (Indarti, 2006 : 58)

Ada empat jenis tokoh peran yang merupakan anasir keharusan kejiwaan menurut Indarti, yaitu (1) tokoh protagonis peran utama, merupakan pusat atau sentral cerita; (2) tokoh antagonis peran lawan, ia suka menjadi musuh atau penghalang tokoh protagonist yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik) ; (3) tokoh tritagonis peran penengah, bertugas menjadi pelerai, pendamai atau pengantar protagonist dan antagonis; (4) tokoh peran pembantu, peran yang tidak langsung terlibat dalam konflik yang terjadi; tetapi ia diperlukan untuk membantu menyelesaikan cerita.

Dalam naskah drama Tjitra ini dapat dianalisis kedudukan peran dari beberapa tokoh didalamnya ;

    1. Tjitra, sebagai tokoh protagonist. Dalam cerita ini Tjitra adalah pusat atau sentral cerita, dimana dapat dilihat dari pemunculannya dalam cerita yakni dari awal hingga akhir cerita, dan tokoh Tjitra memiliki hubungan dengan hampir seluruh tokoh yang ada pada cerita.

    2. Sutopo dan Harsono, sebagai tokoh antagonis. Keduanya dapat dikatakan sebagai cikal bakal munculnya konflik pada tokoh protagonist (baca : Tjitra). Sutopo yang jatuh hati pada Tjitra, kemudian memunculkan beban mental pada diri Tjitra dengan kesediaannya menjadi suami sekaligus ayah dari anak yang dikandungnya, namun selama itu tidak pernah benar-benar menjadi suami yang baik baginya. Begitupula dengan Harsono yang telah memesonai Tjitra, menghamili Tjitra, kemudian meninggalkan Tjitra dan menikahi perempuan lain hanya untuk mendapatkan hartanya.

    3. Nj. Suriowinoto dan Pak Gondo, sebagai tokoh tritagonis. Kehadiran keduanya dalam cerita selalu memberikan pencerahan atas konflik yang terjadi (selalu meredakan konflik) dan memberikan jalan keluar. Keduanya juga merupakan tokoh penghubung yang memberikan garis singgung cerita (mempertemukan) antara tokoh protagonist dan antagonis.

    4. Tinah, Suwanto, dan Kornel, sebagai tokoh peran pembantu dimana pemunculannya hanya untuk membantu menjelaskan keadaan yang terjadi baik pada tokoh antagonis maupun protagonist. Keterlibatannya pada konflik atau masalah dalam cerita juga tidak terlihat, namun tetap diperlukan untuk melengkapi penyelesaian konflik cerita.

  1. Latar (setting)

Sebuah cerita pada hakikatnya adalah lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu tertentu dan pada tempat tertentu. Atas dasar hal tersebut dapat dikatakan bahwa penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya disebut latar cerita atau setting (Najid, 2003 : 25)

Ada tiga jenis latar yang terdapat dalam naskah drama “Tjitra”. (1) latar waktu yang menunjukkan kira-kira lima bulan sehabis perang di Djawa, sesudah runtuhnya kekuasaan Belanda. (2) latar tempat yang menunjukkan letak geografis pada cerita tersebut adalah di Djawa Timur, ini dapat dilihat dari nama pabrik yang sekaligus merupakan tempat tinggal keluarga Nj. Suriowinoto yakni Pabrik Tenun Djawa Timur. (3) latar social yang menunjukkan latar masyarakat pedesaan, terlihat dari perhatian yang diberikan masyarakat ketika di daerahnya ada janda muda kaya raya yang sedang mencari suami. Perhatian-perhatian terhadap lingkungan sekitar seperti inilah yang biasa digambarkan oleh masyarakat pedesaan.


C. Penutup

Demikianlah pada akhirnya suatu unsur yang membentuk suatu drama kedudukannya sangat penting diantara keberadaan unsur-unsur yang lain yang saling menunjang, begitupula yang terjadi pada naskah drama “Tjitra”. Unsur-unsur drama seperti ; tema, amanat, alur, penokohan, dan latar/setting menjadi satu kesatuan yang harmonis yang harus diperhatikan sebagai suatut totalitas dalam menilai maupun mengapresiasi sebuah karya sastra, khususnya drama.





DAFTAR PUSTAKA




Indarti, Titik. 2006. Memahami Drama Sebagai Teks Sastra dan Pertunjukan. Surabaya : Unesa University Press.

Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya : Unesa University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1989. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa.




Tindak Tutur Film "Berbagi Suami"

Analisis Tindak Tutur pada Dialog Film “Berbagi Suami”

Karya Nia Dinata

oleh : R.A. Hartyanto

A. Pendahuluan

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Setiap bahasa digunakan sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi bahasa digunakan sebagai alat penyampaian pesan dari diri seseorang kepada orang lain, atau dari pembaca kepada pendengar, dan dari penulis ke pembaca, manusia berinteraksi menyampaikan informasi kepada sesamanya. Selain itu, orang dapat mengemukakan ide-idenya, baik secara lisan maupun secara tulis/gambar.

Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (menyebutnya fungsi emotif). Maksudnya, sipenutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah atau gembira (Chaer, 2004 : 15)

Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur denan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan (Chaer, 2004 : 15-16).

Jika dikaitkan antara penutur dan lawan bicara akan terbentuk suatu tindak tutur dan peristiwa tutur. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan tersebut merupakan isi pembicaraan.

Berkaitan dengan tindak tutur, pada penelitian ini akan dianalisis tindak tutur pada dialog film. Judul pada penelitian ini adalah “Analisis Tindak Tutur pada Dialog Film Berbagi Suami Karya Nia Dinata”. Kami memilih judul ini, karena menurut kami, judul ini menarik untuk diteliti dan belum pernah diteliti. Instrument penelitian pada penelitian ini mengacu pada teori tindak tutur menurut J.L. Austin yaitu tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Adapun rumusan permasalahan penelitian ini adalah untuk mengetahui ; (1) Bagaimanakah tindak tutur lokusi dalam film “Berbagi Suami” karya Nia Dinata ? (2) Bagaimanakah tindak tutur ilokusi dalam film “Berbagi Suami” karya Nia Dinata ? (3) Bagaimanakah tindak tutur perlokusi dalam film “Berbagi Suami” karya Nia Dinata ?

Penelitian ini memiliki dua tujuan yakni tujuan umum dan khusus, adapun tujuan umumnya adalah untuk mendeskrisikan tindak tutur pada dialog film “Berbagi Suami” karya Nia Dinata. Sedangkan tujuan khususnya antara lain ; (1) Mendeskripsikan bentuk tindak tutur lokusi dalam dialog film “Berbagi Suami” Karya Nia Dinata. (2) Mendeskripsikan bentuk tindak tutur ilokusi dalam dialog film “Berbagi Suami” Karya Nia Dinata. (3) Mendeskripsikan bentuk tindak tutur perlokusi dalam dialog film “Berbagi Suami” Karya Nia Dinata.

Dari diadakannya penelitian ini juga akan diperoleh beberapa manfaat, manfaat teoritis misalnya yakni dapat memberikan pengetahuan bahasa tentang tindak tutur pada dialog film serta dapat memberikan pemahaman yang mendalam terhadap kajian ilmu bahasa tindak tutur di Indonesia. Selain dari manfaat teoritis tersebut juga akan memperoleh manfaat praktis yakni memberikan sumbangan terhadap penelitian berikutnya dan dapat dijadikan pemicu bagi peneliti lainnya untuk bersikap kritis dan kreatif dalam menyikapi perkembangan tindak bahasa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena data yang didapatkan berupa deskripsi tentang tindak tutur dalam dialog film “Berbagi Suami” karya Nia Dinata. Adapun sumber penelitian ini adalah berasal dari dialog film “Berbagi Suami” karya Nia Dinata.

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa langkah, yakni ; (a) Peneliti mencari CD film “Berbagi Suami” karya Nia Dinata, (b) peneliti menonton film berbagi suami karya Nia Dinata, (c) peneliti memilih tindak tutur yang ada dalam film, (d) peneliti menganalisis data untuk mengetahui tindak tutur berdasarkan teori tindak tutur (lokusi, ilokusi, perlokusi), (e) data yang dipilih dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkanmasalah yang ditetapkan. Pada saat penganalisisan data, dilakukan dengan penyeleksian data, pengklasifikasian data, serta pengkodean data.

B. Tindak Tutur

  1. Pengertian tindak tutur

Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatic yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya tindak tutur digunakan oleh beberapa disiplin ilmu. Seorang kritikus sastra mempertimbangkan teori tindak tutur untuk menjelaskan teks yang halus (sulit) atau untuk memahami alam gnre (jenis) sastra, para antropolog akan berkepentingan dengan teori tindak tutur ini dapat mempertimbangkan mantra magis dan ritual, para filosof melihat juga adanya aplikasi potensial diantara berbagai hal, status pernyataan etis, sedangkan linguis (ahli bahasa) melihat gagasan teori tindak tutur sebagai teori yang dapat diterapkan pada berbagai masalah di dalam kalimat (sintaksis), semantic, pemelajar bahasa kedua, dan yang lainnya. Di dalam linguistic pragmatic tindak tutur tetap merupakan praduga dengan implikatur khusus. (Setiawan, 2005 : 16)

Menurut Chaer (2004 : 16) tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsugannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

  1. Konsep-konsep tindak tutur.

Konsep adalah penyebaran teori. Teori tindak tutur lebih dijabarkan oleh para lingusitik diantaranya Searle (Dalam Wijana, 1996 : 17) menyatakan bahwa secara pragmatis, setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur dalam melakukan tindak tutur yakni tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi.(Setiawan, 2005 : 17)

J.L Austin (Dalam Tarigan, 1994 : 109) dalam bukunya yang berjudul “How to do things with words” telah membedakan tiga jenis tindak tutr, yaitu : (1) tindak lokusi (melakukan tindakan untuk menyatakan sesuatu), (2) tindak ilokusi (melakukan suatu tindakan dalam menyatakan sesuatu), (3) tindak perlokusi (melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan sesuatu).

Untuk lebih jelasnya tentang ketiga teori tindak tutur tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

  1. Tindak Lokusi

Wijana (Dalam Setiawan, 2005 : 18-19) menyatakan bahwa tindak lokusi adalah tindak tutur untuk meyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut The Act of Saying Something. Konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri atas dua unsur, yakni subjek atau topik dan predikat atau comment yang relative paling mudah untuk diidentfikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tertuturnya tercakup dalam situasi tutur.

Sehubungan dengan tindak lokusi, Leech (dalam Setiawan, 2005 : 19) memberikan rumus tindak lokusi. Bahwa tindak tutur lokusi berarti penutur menuturkan kepada mitra tutur bahwa kata-kata yang diucapkan dengan suatu makna dan acuan tertentu.

Dari batasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak lokusi hanya berupa tindakan menyatakan sesuatu dalam arti yang sebenarnya tanpa disertai unsur nilai dan efek terhadap mitra tuturnya. Berdasarkan hal ini maka tindak lokusi terbagi menjadi tiga tipe, yaitu :

    1. Naratif

Naratif dapat diartikan sebagai bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu keadaan waktu. Naratif adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca atau mitra tutur suatu peristiwa yang telah terjadi . naratif hanya berusaha menjawab suatu pertanyaan “Apa yang telah terjadi?” (Keraf dalam Setiawan, 2005 : 20)

    1. Deskriptif

Keraf ( Dalam Setiawan, 2005 : 20) mendefinisikan deskriptif sebagai suatu bentuk wacana yang bertalian dengan usaha perincian dari obyek-obyeknya yang direncanakan, penutur memudahkan pesan-pesannya, memindahkan hasil pengamatan dan perasaan kepada mitra tutur, penutur menyampaian sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada obyek tertentu.

    1. Informatif

Kridalaksana (dalam Setiawan, 2005 : 21) mendefinisikan informative sebagai bentuk wacana yang mengandung makna yang sedemikian rupa sehingga pendengar atau mitra tutur menangkap amanat yang hendak disampaikan.

Tindak informative selalu berhubungan dengan makna referensi yaitu makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar angkasa (obyek atau gagasan), dan yang dapat dijelaskan oleh analisis komponen (Kridalaksana dalam Setiawan, 2005 : 21)

  1. Tindak Ilokusi

Lubis (dalam Setiawan, 2005 : 22) memberikan definisi lebih rinci dengan beberapa batasan mengenai tindak ilokusi yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan, permintaan maaf dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan.

Subyakto-Nababan (Dalam Setiawan, 2005 : 22) menambahkan bahwa tindak ilokusi adalah tindak bahasa yang diidentifikasikan dengan kalimat pelaku yang eksplisif. Tindak ilokusi merupakan tekanan atau kekuatan kehendak orang lain yang terungkap dengan kata-kata kerja : menyuruh, memaksa, mendikte kepada dan sebaginya.

Bach dan Harnish (Dalam Setiawan, 2005 : 22-25) menyatakan bahwa dalam klasifikasi tindak ilokusi dapat dibagi menjadi 4 golongan besar yaitu :

        1. Konstantif

Merupakan ekspresi kepercayaan yang dibarengi dengan ekspresi maksud sehingga mitra tutur membentuk (memegang) kepercayaan yang serupa. Konstantif dibagi menjadi beberapa tipe, yakni : (a) asertif (menyatakan), (b) prediktif (meramalkan), (c) retroaktif (memperhatikan), (d) deskriptif (menilai), (e) askriptif (mengajukan), (f) informative (melaporkan), (g) konfirmatif (membuktikan), (h) konsesif (mengakui, menyetujui), (i) retraktif (membantah), (j) asentif (menerima), (k) disentif (membedakan), (l) disputative (menolak), (m) responsive (menanggapi), (n) sugestif (menerka), (o) supposif (mengasumsikan).

        1. Direktif

Direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan terhadap mira tutur. Direktif dapat dibagi menjadi 6 tipe yaitu (a) requestif : meminta, (b) question ; bertanya, (c) requitment : mengistruksikan, (d) probibitives : melarang, (e) promissives : menyetujui, (f) advisories : menasehati.

        1. Komisif

Komisif merupakan tindak mewajibkan seseorang atau menolak mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang dispesifikasi dalam isi proposisinya, yang bisa juga menspesifikasikan kondisi-kondisi tempat, isi itu dilakukan atau tidak harus dilakukan.

Komisif dibagi menjadi 8 yaitu : (a) promises : menjanjikan, (b) contract : membuat janji bersyarat, (c) bet : berjanji melakukan sesuatu, (d) swearthat : berjanji bahwa yang dikatakannya adalah benar, (e) surrender : mengaku salah, (f) invite : permohonan kehadiran dengan janji, (g) offer : menawarkan, (h) volunteer : menawarkan pengabdian.

        1. Acknowledgment

Acknowledgment mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur baik yang berupa rutinitas atau yang murni. Acknowledgment dapat dibagi menjadi beberapa tipe, yakni (a) apologize : permintaan maaf, (b) condole : ucapan ikut berduka, (c) bid : harapan, (d) greet :mengucapkan, (f) accept : penerimaan, (g) reject : menolak, (h) congratulate : mengucapkan selamat.

  1. Tindak Perlokusi

Menurut Wijana (dalam Setiawan, 2005 : 25) tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengaturannya dimaksud untuk mempengaruhi lawan tutur.

Subyakto-Nababan (dalam Setiawan, 2005 : 25) memberian definisi mengenai tindak perlokusi, yaitu tindak bahasa yang dilkakukan sebagai akibat atau efek dari suatu ucapan orang lain.

Tindak lokusi dan ilokusi juga dapat masuk dalam kategori tindak perlokusi bila memiliki daya ilokusi yang kuat yaitu mampu menimbulkan efek tertentu bagi mitra tutur.

Verba tindak ujar yang membentuk tindak perlokusi, diantaranya dapat dipisahkan dalam tiga bagian besar, yakni :

  1. Mendorong mitra tutur mempelajari bahwa : meyakinkan, menipu, memperdayakan, membohongi, menganjurkan, membesarkan hati, menjengkelkan, mengganggu, mendongkolkan, menakuti, memikat, menawan, menggelikan hati.

  2. membuat mitra tutur melakukan, mengilhami, mempengaruhi, mencamkan, mengalihkan, mengganggu, membingungkan.

  3. membuat mitra tutur memikirkan tentang : mengurangi ketegangan, memalukan, mempersukar, menarik, perhatian, menjemukan, membosankan. (dalam Setiawan, 2005 : 25-26)




B. Analisis Tindak Tutur dalam Dialog Film Berbagi Suami Karya Nia Dinata.

Dalam film Berbagi Suami karya Nia Dinata ini diperoleh beberapa dialog yang menunjukkan adanya peristiwa tindak tutur yang beberapa diantaranya diuraikan sebagai berikut :

1. Lokusi

a. Naratif

data :

- “Entar kalau Nadine cari istri mau cari seperti Ummi ah…!” (10:30 / cd1)


Dalam dialog yang diucapkan oleh Nadine tersebut terdapat unsur niatan untuk menyampaikan maksud bahwa jika Nadine ingin mencari seorang istri, maka istri yang ingin dicari Nadine adalah perempuan yang seperti Ummi-nya. Jadi pada dialog tersebut Nadine berusaha menggambarkan sejelas-jelasnya mengenai perempuan yang ingin dijadikan istri yakni yang seperti Umminya.

Selain data tersebut juga dapat dilihat pada data berikut ini :


- “Alhamdulilah, Allah masih melindungi saya” (13:25 / cd2)


Pada data diatas, dialog yang diucapkan tersebut sebenarnya dapat menjawab pertanyaan “Apa yang telah terjadi” yakni masih dilindungi oleh Allah.

b. Deskriptif

data :

- “Akhirnya, cita-cita Abah kesampaian Ummi, ngumpul semua istrinya” (25:57 / cd1)


Dialog yang diucapkan Nadine tersebut berusaha untuk menyampaikan kepada Umminya sebagai pendengar bahwa cita-cita Abahnya telah kesampaian, yakni untuk berkumpul bersama semua istri-istrinya.

c. Informatif

data :

- “Nanti kalau ada Dollarnya dibagi-bagi jangan disimpan sendiri. Ati-ati Mas !”. (06:22 / cd2)


Data tersebut diatas memiliki maksud untuk menyampaikan informasi berupa pesan bahwa jika mendapat uang dollar jangan disimpan sendiri.

2. Ilokusi

a. Konstantif

data :

- “Apa kurangnya Salma ?”

- “Nggak ada yang kurang, Abang hanya menghindari Zina” (7:03 / cd1)


Data diatas termasuk tindak tutur jenis ilokusi konstantif yang sifatnya retraktif, yakni menolak bahwa ada yang kurang pada diri Salma.

b. Direktif

data :

- “Kalau kamu mau berubah pikiran, datang ke alamat ini untuk casting!” ( 42:35 / cd2)


Data diatas termasuk jenis tindak tutur ilokusi direktif karena si penutur berusaha untuk mengarahkan si pendengar untuk melakukan seperti apa yang diucapkan oleh si penutur sekalipun sifatnya hanya tawaran dan belum tentu dilakukan oleh si pendengar.

c. Komisif

data :

- “Maaf Bu, cuma bisa berdua!”

- “Berdua, ayo Mi !” (24:30 / cd1)


Data tersebut diatas mengungkapkan sebuah contract yaitu sebuah janji bersyarat. Dalam dialog tersebut disyaratkan bahwa yang bisa masuk kedalam ruangan hanya dua orang.

e. Acknowledgment

data :

- “Jalannya agak jauh nggak papa ya Ti ?”

- “Nggak papa” (42:37 / cd1)


Termasuk dalam tindak tutur ilokusi jenis acknowledgment karena si penutur mengekspresikan perasaan apologize atau permintaan maaf berkaitan dengan suatu keadaan tertentu yakni jalan yang jaraknya agak jauh.

3. Perlokusi

Data :

- “Sal, pager loe tuh !” (19:56 /cd1)

(Salma mengambil pagernya)


Ketika si penutur mengucapkan dialog tersebut, maka si pendengar langsung mengambil pagernya, hal ini karena apa yang disampaikan si penutur mampu mempengaruhi si pendengar untuk melakukan sesuatu, dan ini termasuk dalam konsep perlokusi.


- “Kopi enak nih jam segini” (16:28 / cd2)

(Santi langsung membuatkan kopi untuk Pa’ Le’)


Data diatas juga menunjukkan sebuah perlokusi dimana ketika si penutur mengucapkan dialog tersebut, maka si pendengar memahami makna tersirat yang ingin disampaikan yakni untuk membuatkan kopi, sehingga otomatis kalimat dari si penutur mempengaruhi si pendengar untuk melakukan sesuatu yakni membuat kopi.



- “Mas cepetan, bayinya udah mau keluar” (54:16 / cd1)

(Pak Le’ menolong istri yang melahirkan , meninggalkan aktivitas malam pertamanya)


Data dialog diatas juga termasuk dalam tindak tutur jenis perlokusi karena dialog tersebut mampu membuat mitra tutur menghentikan aktivitasnya dan melakukan apa yang disampaikan oleh si penutur sebagai bentuk dari tanggapan atas apa yang diucapkan oleh si penutur.

C. Penutup

Dari hasil analisa diatas maka dapat diketahui dan ditarik kesimpulan bahwa dalam dialog film Berbagi Suami karya Nia Dinata ini terdapat banyak peristiwa tindak tutur di dalamnya yang berupa tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi.

Tindak tutur llokusi dalam dialog film Berbagi suami ini terbagi atas beberapa jenis yakni Naratif, Deskriptif, dan Informatif. Sedangkan pada tindak tutur Ilokusi ditemui juga adanya beberapa jenis ilokusi yakni konstantif, komisif,direktif, dan acknowledgment.
















DAFTAR RUJUKAN


Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Setiawan, Soni. 2005 : Tindak tutur dan pilihan kata dalam Bahasa Humor Rubrik Komedi Misteri pada Majalah Wahana Mistis Edisi Oktober-Desember 2004. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya : JBSI FBS UNESA.

Tarigan, Henry Guntur. 1994. Pengajaran Pragmatik. Bandung : Angkasa.

























LAMPIRAN I


TRANSKRIP DATA ANALISIS TINDAK TUTUR

PADA FILM BERBAGI SUAMI KARYA NIA DINATA


  1. Lokusi

    • “Selamat buat Ibu Indri” (menit ke 2:47 / cd1)

    • “Saya mah pengennya anak lelaki” (4:47 / cd1)

    • “Lebih baik Salma nggak tau sama sekali” ( 8:03 / cd1)

    • “Entar kalau Nadine cari istri maunya seperti Mami ah…” ( 10:30 / cd1)

    • “Makan dong Bang, udah lama kita nggak makan bebek Koh Abun” (15 :50 / cd1)

    • “Jangan sampailah agama itu dijadikan pembenaran” (18:20 / cd1)

    • “Akhirnya, cita-cita Abah kesampaian Ummi, ngumpul sama semua istrinya” (25:57 / cd1)

    • “Nadine, nanti kalau nikah istri satu saja” (35:26 / cd1)

    • “Pagi bu, ngapain pagi-pagi gini sendirian ?” (42:20 / cd1)

    • “Nanti kalau ada dolarnya dibagi-bagi jangan disimpan sendiri, ati-ati Mas!” (06:22 / cd2)

    • “Aku pergi dulu yaa..! kalian yang rukun di sini !” (12:23 / cd2)

    • “Alhamdulillah, Allah masih melindungi saya” (13:25)

    • “Pokoknya kalau Ming kawin sama Koh Abun, Ming minta apa aja boleh” (28:30 / cd2)

    • “Selamat ya aku ikut bangga” (38:34 / cd2)

    • “Emangnya kalau nolong orang harus bilang-bilang ?” (44:25 / cd2)

    • “Sebenarnya aku nggak pingin lagi kerja di restoran” (44:50 / cd2)

    • “Semoga bahagia di tempat baru ya Ming !” (58:20 / cd2)


  1. Ilokusi

    1. “Apa kurangnya Salma ?”

“Nggak ada yang kurang, Abang hanya menghindari Zina” (7:30 / cd1)


    1. “Enakan makan di sana ya bang !”

“Malas aku makan di sana” (16:07/ cd1)

    1. “He, Salma kemana kamu ?”

(Salma pergi dengan acuh). (16:67 / cd1)

    1. “Jangan kelamaan ngambek !”

“Aku nggak ngambek” (21:39 / cd1)

    1. “Maaf Bu, cuma bisa berdua!”

“Berdua, ayo Mi !” (24:30 / cd1)

    1. “Sediakan notebook sama pensil !”

“ Sudah kok Dok, kalau ada apa-apa ditulis” (26:50 / cd1)

    1. “Pipis…pipis…”

“Pipis ke kamar mandi” (36:15 / cd1)

    1. “Jalannya agak jauh nggak papa ya Ti ?”

“Nggak papa” (42:37 / cd1)

    1. “Aku nggak ngerti urusan cinta”

“Nanti lama-lama juga ngerti cinta” (42:37 / cd1)

    1. “Uang buat apa Ti ?”

“Buat nambahin biaya Mbak Sri ke Dokter” (08:30 / cd2)

    1. “Sudah menengoki Mbak Sri belum ?”

“Udah, mereka tidur kecapekan” (11.30 / cd2)

    1. “Pi, ntar habis dari pasar kita mampir ke took Handphone!”

“Ngapain ?”

“Ya beli Handphone” (24:40 / cd2)

    1. “Bun, kau tahu hampir seluruh pelanggan laki-laki kayaknya cuma kamu aja yang nggak terpengaruh”

“Aku sudah nganggap seperti anak sendiri” (31:41 / cd2)

    1. “Aku bahagia sama Koh Abun, dia sangat perhatian aku banget” (41:56 / cd2)

    2. “Kalau kamu mau berubah pikiran, datang ke alamat ini untuk casting !” (42:35 / cd2)

    3. “Masak orang nyumbang banyak disalah gunain ?”

“Banyak yang gitu sekarang” (43:35 / cd2)

    1. “Masih berani lihatin istri orang seperti itu ?”

“Emangnya nggak boleh ?” (52:00 / cd2)


  1. Perlokusi

    1. “Satu…satu…nol…satu ! Silakan! “

(Indri maju ke depan ) (2:28 / cd1)

    1. “Sal, pager loe tuh !” (19:56 /cd1)

(Salma mengambil pagernya)

    1. “Masuk…masuk…! (43:30 / cd1)

(Pak Le’ menyuruh Siti masuk)

    1. “Mas cepetan, bayi udah mau keluar” (54:16 / cd1)

(Pak Le’ menolong istri yang melahirkan , meninggalkan aktivitas malam pertamanya)

    1. “Tolong kipas anginnya nyalain ke aku, aku mau tiduran dulu” (07:56 / cd2)

(Siti menyalakan kipas angin)

    1. “Ajak Santi ke kamar dulu Ti!” (11:55 / cd2)

(Siti mengajak Santi tidur)

    1. “Kopi enak nih jam segini” (16:28 / cd2)

(Siti langsung membuatkan Pak Le’ kopi)

    1. “Santi sini, ngobrol sama kita” (17:08 / cd2)

(Santi datang)

    1. “Cepet Ti…!” (17:08 / cd2)

(Santi cepat memasukkan task e dalam mobil)

    1. “Itu bel…bel… bakmi pesenan” (36:50 / cd2)

(Ming pergi keluar membukakan pintu)


Semiotika Pertunjukan Drama "Sayang Ada Orang Lain"

SEMIOTIKA PERTUNJUKAN DALAM DRAMA

SAYANG ADA ORANG LAIN”

Arahan Sutradara : Nuris Iman

oleh : R.A. Hartyanto

A. Pengantar

Menurut Endraswara (2003 : 64) structural semiotic muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian structural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsic, semiotic memandang karya sastra memiliki sistem sendiri. Karena itu, muncul kajian structural semiotic untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda.

Seperti halnya bahasa, teater dapat menonjolkan atau membuat sesuatu yng aneh, asing, atau lain (make strange) unsur-unsur yang spesifik dari pemangungan sebagai cara untuk menciptakan makna yang lain sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi tanda. (Indarti, 2004 : 102)

Segala sesuatu yang disajikan kepada penonton dalam kerangka teatrikal adalah tanda. Membaca tanda-tanda (untuk memahaminya) adalah suatu cara yang dapat kita mulai dengan jalan ‘membaca’ (baca: memahami) apa saja yang berada di sekitar kita. Misalnya kita ‘membaca’ orang-orang yang kita jumpai di jalan, bagaimana mereka berpakaian, rambut kusut, pakaian yang lusuh, dan sepasang sepatu yang jelek yang menandakan pria kota. Meskipun kita dengan sendirinya akan ‘membaca’ dari apa yang kita lihat tersebut karena pengetahuan kita akan kode-kode pakaian (Barthes dalam Indarti, 2004 : 99-100)

Pertunjukan drama berjudul “Sayang ada orang lain” ini menceritkan tentang sebuah keluarga miskin yang telah lima tahun mengarungi bahtera hidup berumah tangga. Namun tekanan ekonomi membuat Suminta sebagai seorang suami putus asa dan memandang segala sesuatunya dengan pesimis. Berbeda dengan Suminta, Mini sebagai istri justru berpikir kebalikannya, karena tidak tahan melihat penderitaan suaminya yang selalu pesimis terhadap hidup maka ia menggunakan kesempatannya sebagai perempuan untuk menambah penghasilan bagi kebutuhan ekonomi yang semakin mencekik. Tapi kesempatan yang dianggap benar oleh Mini ternyata tidak demikian bagi Suminta, maka yang terjadi adalah masing-masing mereka memiliki kebenaran yang salah bagi pihak yang lain. Konflik semakin diperuncing dengan ikut campurnya kedua tetangga yang juga memiliki kebenaran yang salah bagi pihak yang lain. Mereka adalah Hamid dan Haji Salim. Selain mereka berdua juga muncul orang-orang lain yang mempengaruhi konflik yang mereka alami, yakni Sum sebagai penjual perhiasan yang bergaya hidup hedonis, tukang minyak yang datang menagih hutang, serta lelaki selingkuhan yang memicu perselisihan.

Hasutan-hasutan dari orang lain inilah yang kemudian pada akhirnya membuat rumah tangga Suminta dan Mini hancur, rasa sayang yang telah mereka bangun selama lima tahun harus pudar karena ada orang lain.


B. Semiotika Sastra

Semiotic berasal dari kata Yunani “semion”, yang berarti tanda. Semiotic adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Van Zoest, 1993 :1). Lebih lanjut Preminger (Pradopo, 2003 : 19) semiotic itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002 : 40).

Semiotic memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda, yakni konsep semiotic Saussure dan konsep semiotic Peierce. Menurut Saussure, bahasa merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak terpisahkan, signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Namun dalam analisis ini yang akan digunakan adalah konsep semiotic Peierce konsep semiotic Saussure lebih menekankan pada kebahasaan sedangkan yang menjadi objek analisis adalah drama sebagai pertunjukan.

Peierce (Ratna, 2004 : 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadic ;

  1. Representament, ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut Van Zoest (1993 : 18-19) adalah :


    1. Qualisigns

Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat.

    1. Sinsigns

Sinsigns ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan.

    1. Legisigns

Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode.

  1. Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda dengan denotatum yaitu :

    1. Ikon

Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam :

      • Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang.

      • Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur.

      • Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan.

    1. Indeks

Indeks adalah hubungan tanda dan objek karena seab akibat.

    1. Symbol

Symbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah.

  1. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Hubungan antara tanda dan interpretan oleh Peirce dalam Van Zoest (1993 : 29) dibagi menjadi tiga macam :

    1. Rheme, tanda sebagai kemungkinan : konsep

Contoh : “Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau ‘cerdas’, tanda itu diberikan denotatum dan dapat diinterpretasikan.

    1. Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta : pernyataan deskriptif.

Contoh : “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan decisigns.

    1. Argument, tanda sebagai nalar : proposisi.


C. Semiotika Unsur-Unsur Drama Sebagai Pertunjukan

  1. Sutradara

Tidak banyak perubahan yang dilakukan oleh sutradara dalam pertunjukan drama ini bila dibandingkan dengan teks drama asli, sedikit perbedaan hanya nampak pada tokoh Hamid yang dalam teks aslinya dicirikan sebagai seseorang yang bertubuh gemuk namun dalam pertunjukan diperankan oleh actor yang bertubuh kurus. Namun hal ini tidak terlalu mempengaruhi esensi cerita yang ingin disampaikan kepada penonton.

Koordinasi masing-masing perangkat dasar dalam sebuah pertunjukan juga telah ditangani dengan baik oleh sutradara, hal ini bisa dilihat dari kesesuaian dan keserasian antara tata busana, tata rias, dekorasi, tata lampu dan lainnya yang saling menunjang dalam sebuah pertunjukan.

  1. Pemain (actor)

Banyak tanda maupun penanda yang dapat ditemukan dari masing-masing pemain saat memerankan tokoh-tokoh dalam drama ini, seperti adanya qualisigns yang ditunjukkan dengan baju putih-putih pada tokoh Haji Sali yang menegaskan karakter tokoh yang taat beribadah, dan selalu memegang tinggi norma-norma agama. Pemakaian baju warna hitam-putih pada tokos Suminta juga menguatkan karakter polos serta mudah terpengaruh sehingga sering membuat bingung dan selalu pesimis dalam memandang hidup. Berbeda dengan tokoh Hamid yang dari pendar cahaya pada mata ikat pingangnya saja sudah memberikan arti bahwa ia adalah laki-laki yang selalu memandang hidup dengan optimis.

Sinsigns juga tampak pada tawa meledak-ledak pada tokoh laki-laki selingkuhan Mini yang menunjukkan watak diri yang liar dan tak terkendali, memandang rendah orang lain serta menganggap apa yang dia kehendaki akan dapat ia miliki. Tangis pada Mini sejak pertengahan babak hingga akhir juga merupakan sinsigns yeng menunjukkan lemah serta rapuhnya iman serta pendirian dia sebagai perempuan yang begitu mencintai suaminya.

Seringnya Suminta mengangkat bahu dan tangannya saat berdialog, mencekik, menunjuk, serta melempar makanan ke lantai adalah merupakan suatu legisigns yang memberikan arti kebingungan, kecemasan, serta amarah yang sering muncul hingga berbuntut rasa putus asa yang mendalam.

Banyak dialog-dialog pada diri Suminta sebagai tokoh utama dalam drama ini yang merupakan argument, seperti salah satu dialognya ; “masing-masing kita memiliki kebenaran yang berbeda bagi pihak lain”. Selain itu keberadaan decisigns pada dialog Suminta juga terlihat pada dialognya ; “mengapa kita bukan anjing”.

Beberapa rheme juga terdapat pada dialog-dialog Suminta, yakni beberapa diantaranya ; “aku jadi bertanya, siapa diantara kita yang mesti menghilang” kata “menghilang” di sini merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘mati’. Seperti juga pada dialog ; “karena itu aku harus menghapuskan diriku sendiri” dimana kata “menghapus’ juga merupakan tanda yang sama dengan ‘mati’.

Yang menarik adalah adanya retorika yakni penekanan berulang-ulang dialog tokoh Haji Salim (repetisi) dimana pada setiap kemunculannya pasti pada akhirnya akan mengatakan “Minta, nanti aku kembali lagi” yang memberikan arti bahwa masalah-masalah yang harus dihadapi keluarga Suminta dan Mini pasti akan datang dan kembali (terus berulang).

  1. Tata Panggung

Bentuk panggung yang sifatnya in door dibuat menyerupai suasana rumah sempit di pinggiran kota yang hanya dihiasi dengan perabotan usang dan minimalis. Keberadaan dua buah kursi di tengah-tengah ruangan beserta satu mejanya menunjukkan kesederhanaan kehidupan sang pemilik rumah. Yang juga perlu diperhatikan adalah keberadaan tempat menjemur pakaian yang berada di dalam ruangan. Baju-baju bahkan pakaian dalam yang tergantung pada jemuran tersebut secara logika tidak akan pernah kering jika penempatan jemuran berada di dalam ruangan. Hal ini menggambarkan bagaimana penderitaan, permasalahan serta cobaan-cobaan yang menimpa keluarga sederhana ini tidak akan pernah surut dan kering seperti yang tergambar pada baju-baju yang tergantung pada jemuran yang takkan pernah kering karena berada di dalam ruangan.

  1. Tata musik

Masing-masing tokoh seakan-akan memiliki background musik yang berbeda-beda, ini dikarenakan penggunaan beberapa alat musik yang beragam mulai dari gitar, piano, biola, hingga perkusi yang masing-masing memiliki kekhasan tersendiri, terlebih karena penataan musik dalam pertunjukan ini dilakukan secara live dan bukan hasil rekaman, jadi memungkinkan bagian musik yang mengiringi pertunjukan dapat melakukan improvisasi nada sesuai dengan keadaan sebenarnya di panggung.

Perpaduan antara nada gitar dan perkusi misalnya, menjadi sebuah tanda ketika sampainya pertunjukan pada klimaks yang diketahui dari kuat lemahnya tekanan pada “genjreng” gitar maupun “tepukan” pada bibir perkusi. Iringan nada-nada biola yang mengalun dengan lembut juga menjadi tanda ketika suasana sedih mulai terasa.

  1. Tata lampu

Pada bagian akhir pertunjukan, yakni ketika tokoh Suminta meninggalkan rumah maka tinggallah Mini, istrinya sendiri dalam rumah. Sambil menangis, Mini berjalan dibelakang suaminya yang bergegas pergi sambil menangis meski tak mampu mencegah kepergiannya hingga di mulut pintu Mini menjatuhkan diri ke lantai dan saat itu juga suasana menjadi redup ditandai dengan dimatikannya lampu cahaya umum, yakni lampu yang memiliki cahaya yang memencar, yang menerangi seluruh bagian panggung. Pada saat yang bersamaan juga Lekolites (lampu spot yang menggunakan reflector ‘ellipsoidal’ dan lensa “plano-konvex’ yang memiliki cahaya menyatu tajam) dari keempat sudut panggung mulai menyala dan mengarah pada tempat di mana Mini menjatuhkan diri. Maka yang tampak di panggung saat itu adalah gelap yang hanya disibak oleh sorot lampu pada Mini yang menangis. Permainan intensitas cahaya ini menjadi tanda gelapnya suasana panggung segelap hati Mini yang teramat sunyi.

Pada bagian di balik background panggung yang berwarna hitam terdapat nyala Frenellites yang memang sekilas tidak mengganggu pandangan, justru bila dari kejauhan akan menambah keindahan panggung yang nyalanya seakan-akan seperti nyala bulan, apalagi posisinya terletak di bagian atas, sedikit diatas batas dinding. Namun perlu diingat juga karena pertunjukan ini menggunakan setting waktu siang hari sehingga kesan nyala bulan dirasa kurang cocok.

  1. Tata busana

Penggunaan busana motif warna-warni mencolok pada tokoh Sum telah menguatkan arti dari segi psikologis yang menunjukkan hedonisme, keceriaan dan kewibawaan layaknya kaum borjuis. Berbeda dengan busana yang dipakai oleh tokoh Mini yang meski nampak anggun namun pemilihan warna coklat gelap bermotif bunga menunjukkan bahwa ada kesedihan, kemurungan, serta sesuatu yang disembunyikan di balik dirinya. Selanjutnya busana kaos dan sarung pada tokoh Suminta cukup menunjukkan kesederhanaan, begitupula pada busana yang dikenakan oleh tokoh-tokoh yang lain. Pada intinya hanya permainan warna yang menunjukkan qualisigns pada masing-masing tokoh seperti juga warna putih pada busana Haji Salim yang menunjukkan kesucian dan warna putih pada baju Suminta yang juga menunjukkan kepolosan yang dipadu dengan bawahan warna hitam menunjuk pada sebuah sikap plin-plan pada akhirnya.

  1. Tata rias

Ada dua jenis make-up yang digunakan dalam pertunjukan ini, yaitu make-up apa adanya dan make-up perwatakan. Jenis make-up apa adanya diberikan kepada hampir seluruh tokoh, hal ini dikarenakan telah terjadi kesesuaian sebelumnya antara karakter asli yang dimiliki oleh actor dengan karakter yang harus dimainkan. Make-up paling mencolok hanya terlihat pada tokoh Haji Salim yang menggunakan jenis make-up perwatakan yang dimaksudkan untuk mempertegas garis-garis dasar karakter sehingga penonton dapat melihat actor yang jauh lebih wajar.

  1. Perlengkapan

Pada bagian trim property nampak pemasangan lukisan-lukisan pada dinding rumah “bambu” yang terlihat kontras seakan ingin menunjukkan bahwa seni berawal dari sebuah kesederhanaan.

Pada bagian hand property juga korelasi dengan bagian tata lampu yang apik diperlihatkan dengan pendar cahaya pada property pisau yang diakibatkan karena permainan plot cahaya dari lampu cahaya campuran. Sehingga mampu memberi arti pada property pisau yang digunakan sebagai jalan untuk menghilang dari kebenaran yang berbeda bagi masing-masing orang.


D. Penutup

Dalam setiap pertunjukan drama selalu ada tanda-tanda yang dapat dianalisa dengan semiotika, tanda-tanda ini yang dapat menjadi penunjang pemahaman penikmat drama yang dapat digali dengn cara yang berbeda-beda sesuai dengan konsep pemahaman dari masing-masing individu yang berbeda pula. Namun sebenarnya perbedaan pemahaman inilah yang justru menambah nilai keindahan suatu drama sebagai pertunjukan.












Daftar Rujukan


Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Indarti, Titik. 2004. Memahami Drama Sebagai Teks Sastra dan Pertunjukan. Surabaya : Unesa University Press

Van Zoest, Art. 1993. Semiotika : tentang tanda, cara kerjanya dan apa yang kita lakukan dengannya (terjemahan Ani Soekawati). Jakarta : Yayasan Sumber Agung.