Selasa, 03 November 2009

PAK CICIP GURU MUDA: MENGGAULI SENIORITAS GURU




Namaku Roshif, tapi murid-murid biasa memanggilku Pak Cicip. Aku mengajar di sebuah sekolah Negeri tingkat Menengah Atas sebagai Guru Tidak Tetap, jadi mengajarku juga tidak menetap. Bisa sehari di sini, dua hari di sana, satu jam di sini, berjam-jam di sana.. begitulah semua kulakukan dengan senang hati.

Ini adalah tahun keduaku sebagai seorang guru, namun perasaan gelisah mulai menggelayut dalam otak. Setahun kemarin aku merasa sukses mengajar dengan sangat menyenangkan, dengan sangat menggairahkan dan menjadi guru pujaan murid-murid karena membawakan teknik mengajar yang berbeda dari guru lain. Tapi, awal tahun ini rasanya benar-benar berbeda. Meskipun aku membawakan teknik mengajar yang sama dengan tahun yang lalu tetapi hasilnya tak semeriah tahun kemarin, muridku tak seceria tahun kemarin. Rasa-rasanya semua ilmu yang kupelajari selama empat tahun di bangku perkuliahan hanya mampu bertahan setahun saja untuk diterapkan. Keadaan ini sungguh menggelisahkan, menggelisahkanku sebagai guru baru. Aku butuh ilmu baru, aku butuh wawasan baru, aku benar-benar harus mengupdate teknik mengajarku.

SEPINTAS LALU

Berada di antara guru-guru yang telah bertahun-tahun mengajar memang kurang menyenangkan, kadang aku kurang bisa menangkap bahan pembicaraan mereka saat jam istirahat di ruang guru, sela-sela rapat, atau pertemuan-pertemuan rutin lain sekalipun sifatnya kekeluargaan. Maklumlah, aku sendiri belum berkeluarga, belum beristri. Jadi, ketika mereka mendiskusikan masa depan keluarga mereka, aku malah mendiskusikan kelangsungan hidup ikan peliharaan dan taman bunga di pekarangan belakang. Ketika sebagian dari mereka bekerja berdasarkan prinsip money oriented, maka aku masih bekerja berdasarkan prinsip funny oriented. Bukannya bermaksud menyombongkan diri tetapi memang kenyataannya ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa mereka selesaikan karena alasan tidak ada dana untuk operasional. Sebut saja untuk membuat media pembelajaran hingga mengganti ongkos photocopy kertas ulangan, semua kulakukan dengan sukarela. Maklumlah, dosenku selalu berpesan bahwa menjadi guru adalah pengabdian, kata-kata itu terekam kuat karena memang baru saja dinamkan, apalagi mengingat umurku yang baru 23 tahun memang tidak banyak pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan. Jadi, biarpun penghasilan sedikit tetapi cukuplah untuk menggratiskan siswa dari ongkos photocopy soal ulangan. Namun, aku juga menyadari suatu saat ketika aku akan menjadi seperti mereka, aku juga pasti akan mengalami hal yang sama karena saat mereka muda juga sudah mengalami yang aku alami saat ini. Singkat kata, aku pasti mengalami keadaan dimana pengeluaran bertambah, mati-matian menghidupi keluarga di rumah.

Kadang memang ada saja pikiran merasa seperti terjebak dengan profesiku, bahwa menjadi guru belumlah menjamin masa depan jika belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Wajarlah, gaji tetap, tanggungan pensiunan hari tua pula. Setiap orang tua pasti juga menginginkan menantu yang seperti itu. Ah, lama-lama pikiran seperti itu meresahkan juga, mengingat di negaraku ini proses seleksi calon pegawai negeri tidak dilakukan setiap hari, yang sudah bertahun-tahun mengajar saja masih belum diangkat menjadi pegawai negeri, apalagi diriku ini yang baru setahun ibarat bayi.

Satu-satunya cara untuk menghilangkan semua keresahan itu adalah dengan tidak memikirkannya lagi, lebih baiknya menuntut ilmu lagi, belajar lagi, sekolah lagi, kuliah lagi, mumpung masih ada biaya, mumpung dapat beasiswa.

BELAJAR LAGI

Saat ini, ketika aku menuliskan catatan ini, aku telah berada di tengah-tengah ruang perkuliahan program pascasarjana, yang baru kusadari aku dikelilingi guru-guru hebat penuh semangat. Aku menjadi satu-satunya yang paling muda di kelas ini. Sengaja aku masuk kelas ini karena tidak memungkinkan bagiku kuliah pagi hari, aku harus mengajar. Jadi, perkuliahan yang kuikuti adalah program perkuliahan sore hari. Awalnya aku pikir di kelas ini aku akan menjadi yang terpintar, tercerdas, mewakili sosok guru modern saat ini. Namun, justru bersama mereka aku menjadi sadar, bahwa menjadi guru tidak hanya sekadar urusan mengajar tetapi juga bagaimana menjalani hidup dengan tegar. Mereka semua berada di sini bukan tanpa tujuan. Sama sepertiku, mereka juga ingin belajar, dengan tulus mereka katakan ingin belajar. Sekarang saya mulai berpikiran bahwa kurang tepat rasanya jika pemerintah menyebutkan tujuan diadakannya sertifikasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, hal itu dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Nanti bisa-bisa para buruh menuntut diadakannya sertifikasi buruh, bisa repot kan? Mungkin akan lebih baik jika alasan diadakannya sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru. Jadi tunjangan sertifikasi tidak melulu dipakai untuk melunasi cicilan rumah, atau menutupi hutang-hutang koperasi. Tetapi dipergunakan untuk sekolah ke jenjang lebih tinggi lagi, meningkatkan kualitas mengajar. Seperti seorang guru di sebelahku ini, yang jika dilihat dari umurnya lebih menyerupai kakekku saja. Namun, semangat belajarnya makin tua makin jadi. “Mumpung dapat tunjangan sertifikasi makanya saya kuliah lagi.” Katanya dengan tegas.

Ada banyak hal yang dapat aku petik dari sekumpulan orang-orang hebat ini. Jika dalam perdebatanku selalu memulai dengan kalimat “Menurut pendapat tokoh....dalam buku...” maka mereka memulainya dengan kalimat“ Menurut pengalaman saya.........” Itulah yang membedakan kami yang senior dan yang masih junior, dan itu pula yang memb uat aku begitu menghormati mereka, jika mereka mengutarakan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi di kelas, maka aku coba menawarkan beberapa solusi berdasarkan referensi yang belum sempat mereka baca. Biasanya solusi-solusiku akan terus-menerus dipertanyakan dengan problem-problem mengajar yang sudah bertahun-tahun mereka hadapi. Jika aku baru bereksperimen, mereka sudah berpengalaman, ketika aku menang dalam teori, mereka menang dalam praktik. Aku merasa benar-benar menang dari mereka hanya ketika kami mendapat tugas membuat paper. Aku tahu mereka sudah tidak bisa dibebani dengan hal-hal seperti itu lagi.


Diskusi-diskusi yang kami bangun selalu terasa menyenangkan karena masing-masing memiliki pandangan yang berbeda terhadap teknik dan cara mengajar. Tidak heran jika pada akhirnya mereka mulai mengadopsi caraku berbicara dan berpenampilan, pun aku juga demikian, mulai mengadopsi cara mereka memberikan perhatian terhadap siswa. Karena itulah selepas perkuliahan, aku selalu merasa seperti habis kembali dari masa depan, dan aku bisa mempersiapkan segala sesuatu yang akan aku hadapi lagi di masa yang akan datang.