Rabu, 06 Januari 2010

SIGIT GURU BANTU: AKU INGIN MENGAJAR LAYAKNYA SUPERSTAR



(Kesenjangan antara konsep dan konteks pembelajaran)

Andai aku Pasha Ungu, semua siswa kan mengagumiku

Andai aku Ariel Peterpan, ku jadi guru beken karena gue keren

Tapi kenyataan aku bukan siapa-siapa...

ku hanya berusaha mengajar...

tidak sekadar apa adanya tapi ada apa-apanya...

(dikutip dari lirik lagu “Ku Bukan Superstar” oleh Project Pop dengan pengubahan)

A. AKU TERLAHIR SEBAGAI SEORANG GURU

Baru setahun yang lalu aku terlahir sebagai seorang guru, umurku pun baru 22 tahun waktu itu. Meskipun aku dibesarkan di lingkungan guru tetapi aku tidak serta merta mendapatkan “status guru”-ku begitu saja, delapan belas tahun sudah aku menuntut ilmu. Ayah-ibu ku juga adalah seorang guru. Kalau boleh membanggakan diri, dulu ayahku adalah seorang guru yang memiliki kharisma dan kesabaran, ketelatenan dan terkenal dengan gebrakan-gebrakan dalam pendidikan. Hal itu kuketahui dari guru-guru semasa sekolahku yang juga sempat menjadi muridnya dulu. Jadi tidak heran jika karir keguruannya meroket cepat seiring dengan semangatnya untuk bisa naik pangkat.

Tapi sejak diberlakukannya otonomi daerah, ayahku terpental jauh dari dunia pendidikan. Semua itu karena kecurangan politik dan praktik tidak terpuji dari sebagian orang yang saling berebut untuk mengamankan kedudukan. Jabatan tertinggi yang pernah diraihnya di dunia pendidikan adalah sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Sekarang dia seperti terdampar sebagai salah satu Kepala Bagian di instansi pemerintah di luar pendidikan. Tak terdengar lagi mimpi-mimpinya tentang dunia pendidikan ke depan, yang aku tahu dia hanya masih saja berangkat kerja ketika matahari belum terbit dan pulang setelah matahari tenggelam (sebuah tauladan yang rasanya sulit aku tirukan). Begitulah perubahan zaman yang tak lagi melihat kompetensi seseorang, tetapi lebih memandang kekuasaan yang dimiliki seseorang. Sementara di lain pihak, kurikulum kita masih saja berbicara standar kompetensi maupun kompetensi dasar.

B. PRODUK BEHAVIORISTIK YANG BERUSAHA MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK ITU AKU

Saat belajar dulu, aku selalu diajari tentang keteraturan, tentang bagaimana materi pembelajaran itu telah terstruktur secara rapi dan dituangkan dalam pikiran menggunakan prinsip “Ala bisa karena biasa”. Menjadikan belajar adalah suatu kebiasaan, dan menghafalkan suatu konsep menjadi sebuah pengetahuan. Jadilah aku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku.

Namun, sebagai manusia yang dinamis tentunya kita harus dapat menyikapi perubahan zaman yang tak pernah statis, pola belajar seperti itu tentulah sulit bila diterapkan kepada siswa-siswa kita zaman sekarang. Maka kenallah aku dengan model pembelajaran konstruktivistik yang aku mulai dengan perubahan lingkungan belajar. Aku menciptakan sendiri panggung untukku berorkestrasi, membuat kelas menyerupai bangunan amphiteater di zaman Yunani Kuno, bahkan kadang meja dan bangku menjadi begitu tidak teratur sesuai dengan keinginan siswa.

Tetapi seringkali aku mendapat teguran dari guru-guru yang lain karena posisi meja dan bangku yang semrawut seperti itu mengganggu jam pelajaran lain seusai pelajaranku, guru-guru itu mengeluhkan banyak waktu terbuang hanya untuk menata kembali meja dan bangku yang tatanannya semrawut karena model pembelajaranku.

Baiklah aku mengalah untuk hal itu, masih banyak pilihan teknik pembelajaran konstruktivistik yang bisa aku terapkan, tetapi setiap teknik pembelajaran yang aku terapkan tidak pernah bisa efektif bagi seluruh siswa dalam satu kelas. Setelah aku analisa ternyata karakteristik siswa di kelas ini begiru beragam, sehingga teknik pembelajaran yang cocok bagi satu siswa tertentu belum tentu cocok untuk siswa yang satunya lagi. Ditambah lagi jumlah siswa dalam satu kelas yang melebihi muatan kelas pada umumnya. Pekerjaan yang benar-benar menguras tenaga bagiku.

C. AKULAH PEMBINA UPACARA IDOLA SISWA

Sekolah tempatku mengajar adalah sekolah pinggiran, dimana sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan sebagian lagi bercocok tanam. Maka seharusnya murid-muridku adalah murid-murid cerdas yang setiap harinya mengonsumsi makanan hasil olahan alam. Tetapi kenyataan tidak demikian, ikan hasil tangkapan, dan tanaman hasil panen lebih banyak untuk dikirim dan diperjual-belikan ke luar daerah, sehingga murid-muridku ini adalah murid-murid yang secara gizi masih belum berkecukupan.

Jadi tidak heran bila perkembangan kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya sedikit lamban. Hanya beberapa di antara mereka yang perkembangannya lebih cepat dibanding yang lain adalah siswa-siswa yang orang tuanya bekerja sebagai pegawai pemerintahan juga beberapa lagi sebagai pedagang/wiraswastawan yang ketika ditanya mengaku berkesempatan minum susu.

Barulah aku ketahui bahwa banyak orang tua yang kurang memperhatikan kebutuhan asupan gizi anak-anaknya. Hal itu terbukti setiap pelaksanaan upacara bendera, banyak murid-muridku yang berjatuhan pingsan karena alasan belum sarapan. Mereka terbiasa sarapan di kantin sekolah saat jam istirahat karena pagi-pagi sekali orang tuanya sudah berangkat bekerja, jadi tidak sempat menyiapkan sarapan.

Posisi berdiri yang memang tidak pernah bisa menunjukkan sikap sempurna adalah karena memang ketahanan tubuhnya lemah sehingga cepat sekali mereka kehilangan energi saat berdiri. Ditambah lagi tekanan dari guru-guru yang mengharuskan mereka bisa berdiri sempurna saat upacara, membuat mereka kehilangan selera dan akhirnya pada upacara-upacara selanjutnya mereka menjadi enggan mengikutinya.

Sempat terbesit dalam pikiranku, jika menginginkan anak-anak ini bisa mengikuti upacara sebagaimana mestinya, maka perlulah diadakan acara sarapan bersama setiap paginya, terlebih sebelum upacara dimulai. Tetapi apa mungkin? Yang bisa kulakukan adalah ketika aku berkesempatan menjadi pembina upacara, maka yang aku sampaikan cukuplah hanya kata-kata mutiara yang durasinya tak pernah lebih dari 5 menit, sehingga upacara terasa singkat, sebelum korban berjatuhan, dan jadilah aku pembina upacara idola siswa, meski kepala sekolah sering menegurku karena hal itu.

D. BAGIKU, KESAN PERTAMA HARUSLAH MENGGODA

Penampilan juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang, padahal kepercayaan diri itu adalah salah satu kunci keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu, termasuk juga guru. Berdasarkan pengalamanku dulu sewaktu belajar, maka guru yang tidak pernah memperhatikan penampilannya selalu menjadi bahan pergunjingan siswa. Bahkan tak jarang yang pada akhirnya menjadi bahan olokan siswa. Maka sebisa mungkin aku berpenampilan menarik untuk bisa mendapat tempat di hati siswa. Rambutku menjadi hitam klimis dengan potongan shaggy yang trendy. Cara bicaraku juga kubuat sekomunikatif mungkin, bahkan tak jarang setiap akan memulai pelajaran aku selalu memekikkan kata-kata bijak dari para filsuf-filsuf terkenal untuk menumbuhkan motivasi siswa, sebuah lagu pengantar pembelajaran yang selalu kunyanyikan pastilah mendapat tepukan tangan yang meriah dari siswa-siswaku. Selalu tersenyum dan sabar menghadapi siswa yang berbuat onar adalah trademarkku.

Awalnya aku memang menjadi dekat dengan siswa, beberapa siswa bahkan tidak lagi sungkan menanyakan berapa nomor ponselku, menanyakan materi-materi yang belum mereka pahami, bahkan meminta pertimbangan terhadap keputusan-keputusan yang akan mereka ambil dalam hidup mereka. Tetapi, lama-kelamaan kedekatan itu berarti ganda bagi mereka. Beberapa diantara mereka kemudian ada yang tidak lagi malu-malu untuk mengungkapkan kekaguman bahkan perasaan sayangnya terhadapku. Maka matilah aku, saat itu juga kuganti nomor kartuku.

E. CARA BERPAKAIANKU MENJADI TRENDSETTER SISWA

Mungkin alasan seorang artis ataupun grup musik tidak mau memakai kostum yang menyerupai kostum seorang guru adalah karena memang seragam untuk guru kurang begitu fleksibel sehingga dikhawatirkan akan mempersulit gerakan mereka di atas panggung. Bahkan mungkin kostum seorang satpam hingga office boy dianggapnya lebih efektif di atas panggung karena terbukti beberapa artis pernah mengunakannya saat konser. Terkesan unik tetapi menarik.

Kalau dipikir-pikir memang ada benarnya, seragam-guru milikku ini memang terasa kurang efektif untuk aku gunakan saat belajar, selain warnanya yang sudah pudar dan mengkilap karena sudah terlalu sering disetrika, modelnya juga sudah tidak up to date lagi. Itulah kenapa aku selalu menyarankan bagi perempuan-guru untuk mendesain ulang roknya menjadi model celana. Karena jika Kamu masih menggunakan rok, maka Kamu tidak akan mampu mengejar murid-murid Kamu yang gesit.

Jadi memang benar bahwa pakaian juga mempengaruhi ketertarikan siswa terhadap proses pembelajaran, karena itu maka suatu hari pernah Aku mengenakan baju lengan panjang berkerah model body fit dilengkapi dasi dan dipadu padankan dengan celana executive model pencil, yang menurutku lebih nyaman aku kenakan saat mengajar bahkan sedikit meningkatkan performa mengajar.

Tetapi tidak lama, kembali aku mendapatkan teguran dari bagian ketertiban karena ternyata banyak siswa yang kemudian mempermak celananya seperti model celana yang pernah aku kenakan, yang terjadi adalah model pakaian siswa yang tidak lagi seragam. Alasan mereka singkat, “Biar lebih percaya diri.” Begitu katanya.

F. PADA AKHIRNYA, SEMUA ITU KARENA AKU

Seperti juga halnya guru-guru yang lain, maka aku pun menginginkan siswa-siswaku sukses dalam ujian nasional sebagai tolak ukur seberapa berhasilkah aku dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah ini.

Hasil uji coba Unas yang pertama cukup membuatku optimis siswa-siswaku ini akan meraih hasil memuaskan dalam Unas yang sebenarnya. Waktu itu aku sendiri yang mengawasi mereka. Namun, pada uji coba Unas yang kedua, nilai mereka benar-benar anjlok. Ketika aku tanya murid-muridku, jawaban mereka cukup sederhana; “Semua ini karena Bapak, ketika Bapak yang mengawasi ujian kami, kami dapat mengerjakan soal dengan santai. Ketika otak kami mampet, Bapak memperbolehkan kami mengunyah permen, menggeser tempat duduk, dan mengijinkan kami keluar sebentar untuk menghirup udara segar. Tetapi ketika guru lain yang mengawasi, kami semua menjadi tegang, jangankan mengunyah permen, meraut pensil saja takutnya setengah mati. Suasana kelas menjadi mencekam.”

Aku tertegun, sambil sesekali membetulkan posisi kerah bajuku. Ujian Nasional tinggal beberapa bulan lagi, haruskah aku bertobat dan kembali ke cara mengajar yang konvensional dulu?

PEMBELAJARAN LANGIT KETUJUH



A. GURU DI UJUNG ZAMAN

Pagi-pagi sekali Pak Sodrun telah bersiap melaksanakan tugas mengajarnya, kegiatan rutin yang tampaknya mulai menjadi terpaksa harus selalu ia jalankan hanya untuk bisa menghidupi anak dan istrinya. Sebelum berangkat Pak Sodrun selalu memandang kalender yang tergantung di dinding rumahnya, menghitung dengan penuh harap kapan awal bulan akan datang dan sesegera mungkin dia akan menerima bayaran bulanan. Namun, mukanya menjadi lesu ketika saat itu kalender masih menunjukkan pertengahan bulan. Pak Sodrun mulai mengayuh sepedanya dengan sangat berat, keringatnya bercucuran. Sepeda yang dimiliki Pak Sodrun adalah satu-satunya peninggalan yang diwarisinya dari sang ayah.

Ayah Pak Sodrun dulunya adalah seorang guru, guru teladan di zamannya yang selalu berangkat pagi-pagi sekali mengayuh sepedanya menembus embun dan membelah sawah-sawah penduduk. Orang-orang yang ditemuinya di jalan selalu menyapanya: “Selamat pagi Pak Guru! Saya titip anak Saya ya!”. Begitulah dengan bangganya ayah Pak Sodrun menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi guru dulu, kini sepeda itu dikayuh oleh Pak Sodrun namun tidak dengan semangatnya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Pak Sodrun?

Awalnya Pak Sodrun memiliki komitmen besar sebagai seorang guru, ia berangkat dari pengalaman-pengalaman sang ayah yang sangat heroik sebagai seorang guru, bahkan ia belajar dari nasihat-nasihat ayahnya tentang menjadi guru yang baik. Namun, komitmen itu berangsur-angsur pudar sejak beberapa tahun yang lalu. Saat itu Pak Sodrun mengayuh sepedanya dengan semangat berapi-api, keringat pun bercucuran dari keningnya, namun tidak seperti ayahnya dulu, sawah-sawah itu kini telah menjadi bangunan-bangunan padat yang dinamakan pabrik, jalan yang sepi berkabut dulu kini menjadi jalanan berdebu dan panas sekaligus dipadati kendaraan bermotor, satu persatu orang-orang yang ditemui Pak Sodrun di jalan tak sedikitpun yang memperhatikannya. Pemandangan yang sama setiap hari, yang tak pernah bersahabat dan tak pernah menghargai profesinya sebagai seorang guru.

Di depannya sudah nampak tembok beton tinggi menjulang yang merupakan pagar sekolah dimana tempat ia mengajar, meski sebenarnya jauh lebih mirip seperti pagar rumah tahanan. Keadaan di kelas juga tidak jauh berbeda, siswa-siswanya hanya menjadi tenang sejenak saat dia mengucap “Assalamualaikum anak-anak..” setelah itu kelas menjadi ramai dan gaduh sepanjang jam pelajaran, sepanjang hari, dan sepanjang tahun.

Kini Pak Sodrun hanya bisa duduk terpaku di meja kelasnya, Pak Sodrun tidak bisa berbuat apa-apa memandangi saja siswa-siswanya yang gaduh, yang onar, yang tidak punya semangat belajar. Begitupula dirinya yang tak punya semangat mengajar. Sampai akhirnya Pak Sodrun melipat kedua tanganya di atas meja dan menelungkupkan kepalanya, matanya terpejam.

B. MIMPI SEORANG GURU DI SIANG BOLONG

Pak Sodrun mulai bermimpi seorang siswa berseragam putih-putih dan bersayap melayang-layang di angkasa, sebelum akhirnya turun dan menarik tangannya ikut serta terbang menembus langit hingga lapis ketujuh. Kemudian Pak Sodrun tiba di sebuah tempat yang dinamakan sekolah.

C. SEKOLAH BERPAGAR HATI

Pak Sodrun masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya, dalam hatinya dia terus bertanya-tanya, kalau tempat ini adalah sekolah, kenapa tidak ada pagar di sekelilingnya, seperti yang ada di sekolahnya? kalau sekolahnya seperti ini, tentulah siswa-siswanya dengan sangat mudah keluar-masuk sekolah tanpa permisi, bisa sejam datang dan sejam kemudian hilang. Dari kejauhan kemudian tampak seorang siswa yang melambaikan tangan dan mengepalkan tangannya seraya menepuk-nepuk dadanya, Pak Sodrun memahaminya sebagai jawaban bahwa sebenarnya pagar sekolah mereka hanya ada dalam hati mereka masing-masing. Begitulah mereka memagari sekolah ini dengan pagar hati, bukan dinding beton berukuran tinggi.

D. BELAJAR KAPANPUN DAN DI MANAPUN

Pak Sodrun terbelalak bukan main ketika mulai melihat aktivitas siswa yang sedang belajar di sekolah itu, mereka belajar di mana-mana. Di kelas, di taman, di bawah pohon, di lapangan, di dekat pancuran air, di kantin, di mana-mana mereka semua belajar dengan riang. Bahkan di kelas-kelas terdengar suara gemuruh, sesekali tepukan tangan, teriakan kegembiraan, bahkan suara ledakan-ledakan sebagai akibat dari percobaan-percobaan ilmiah yang mereka lakukan.

E. BELAJAR SEPERTI MELEDAKKAN PETASAN DI KEPALA SISWA

Mereka tampak sangat bersemangat, mereka tampak sangat menikmati pembelajarannya. Mungkin ini yang dinamakan pembelajaran dengan metode kuantum yang terkenal dengan istilah TANDUR-nya, yaitu dimulai dari Tanamkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan (De Porter: 2001)

Pak Sodrun kemudian melongok dari jendela kelas, mencoba mengintip apa yang terjadi di dalam kelas. Dilihatnya seorang guru sedang menerapkan pembelajaran kuantum dengan teknik pohon konsep, Pak Sodrun mengurutkan langkah-langkah yang mereka lakukan sebagai berikut:

1. Mula-mula siswa diminta untuk membentuk kelompok

2. Kemudian siswa menirukan bentuk pohon dengan memanfaatkan jumlah kelompok

3. Siswa mengidentifikasikan nama pohon berdasarkan materi yang dipelajari, misal pohon Asia, Amerika, Afrika, dan sebagainya.

4. Siswa menerima bendel buah konsep

5. Siswa memasukkan buah konsep ke batang pohon.

6. Siswa mengecek ketepatan buah konsep dengan batangnya.

7. Siswa menguatkan nama pohon konsep.

8. Siswa mempraktikkan isi buah konsep.

9. Siswa memetik buah konsep dari pohon konsep kemudian dikocok ulang dan diberikan ke siswa lagi.

10. Siswa mengecek ketepatan sekali lagi.

11. Siswa menguatkan konsep.

12. Dan terakhir siswa merayakan hasil pekerjaan mereka dengan bernyanyi. (Suyatno, 2009:43)

Pak Sodrun semakin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, seorang guru mampu membuat pembelajaran itu seperti meledakkan sebuah petasan di kepala siswa.

F. KESABARAN SEORANG GURU ITU TIDAK PERNAH ADA BATASNYA

Seseorang menepuk pundak Pak Sodrun, “Bapak... kenapa hanya berdiri di balik jendela? Tidakkah lebih baik bila Bapak masuk ke dalam dan menemukan apa yang Bapak cari?” ucap lelaki yang mengagetkan Pak Sodrun tadi.

Kemudian Pak Sodrun menyalaminya, “Oh tidak terima kasih, Saya hanya kebetulan lewat saja.”

Dengan senyum ramah, lelaki tadi kembali bertanya, “Tapi Kenapa wajah Bapak terlihat murung dan sedih?”

“Saya sedih karena sepertinya hanya Sayalah guru yang tidak pernah dihargai murid-muridnya. Karena itulah saya sering marah dan sedih.”

“Mari Pak Saya traktir Bapak minum kopi di kantin, kita akan bicara banyak di sana!” lelaki tadi mengajak Pak Sodrun ke kantin dan berbicara tentang banyak hal, salah satu diantaranya adalah bagaimana seorang guru dalam melestarikan kesabarannya. Bahwa sabar itu sebenarnya tidak pernah ada batasnya, bila orang lain mengatakan bila dirinya sudah sampai pada batas kesabaran, maka sebenarnya orang itu belumlah dapat dikatakan sabar.

Dalam menghadapi siswa dengan berbagai macam kenakalannya juga dibutuhkan kesabaran dari guru, sesungguhnya ucapan guru merupakan do’a bagi anak didiknya. Jangan pernah lelah mendo’akan kebaikan bagi anak-anak didik. Jika berkat do’a guru, anak-anak bisa tumbuh dengan baik dan berhasil, tentu guru juga akan ikut merasakan bahagia. Namun sebaliknya, jika anak itu nakal, kemudian guru mendo’akan kejelekan bagi mereka sehingga anak itu benar-benar menjadi nakal dan tidak bisa diperbaiki lagi sifatnya, sesungguhnya guru telah mengutuk mereka. Berarti, secara tidak langsung guru memohon keburukan bagi mereka. Seperti yang dikatakan Jabir Ibnu Abdullah r.a. (Asfandiyar, 2009:95) bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Janganlah kalian mendo’akan kebinasaan terhadap diri kalian; janganlah kalian mendo’akan kebinasaan terhadap anak-anak kalian; janganlah kalian mendo’akan kebinasaan terhadap pelayan kalian, dan jangan pula kalian mendo’akan kemusnahan terhadap harta benda kalian agar jangan sampai kalian menjumpai suatu saat dari Allah yang di dalamnya semua permintaan diberi, kemudian (doa) kalian diperkenankan.” (HR Muslim)

Sadarlah kemudian Pak Sodrun bahwa lelaki yang sedang berbicara dengannya adalah seorang guru agama. Setelah menghabiskan kopinya, kemudian Pak Sodrun pamit untuk melanjutkan acara keliling-keliling sekolahnya.

G. DUNIA ANAK ADALAH DUNIA BERMAIN, JANGAN DEWASAKAN MEREKA SEBELUM WAKTUNYA!

Melihat anak-anak belajar sambil bermain seperti itu, khawatirlah Pak Sodrun kalau-kalau nantinya anak-anak di sekolah itu kelewat batas dan kegiatan yang dilakukan hanya menjadi aktivitas bermain saja. Tapi seorang tukang kebun yang tanpa sengaja mendengar gumam pak Sodrun dengan senyum ramah memberikan pengertian bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain, berbeda dengan dunia orang dewasa, jadi apapun yang dilakukan oleh anak-anak akan terasa sangat berkesan bila dikemas dengan sesuatu yang berbau permainan. Hal-hal tersebut untuk menyalurkan kebutuhan psikomotorik anak yang sedang tumbuh aktif pada masa-masa seperti itu. Maka tugas seorang guru adalah mengawasi proses bermain dan belajar mereka agar satu sama lain tetap bersinergi.

Mungkin karena itu juga, sehingga guru-guru yang ada di sini mayoritas berusia muda, karena jarak usia antara guru dan murid yang ada di sini tidak diperkenankan lebih dari 15 tahun. “Lalu bagaimana dengan guru-guru yang jarak usia dengan muridnya lebih dari 15 tahun? Usia seseorang kan selalu bertambah?” tanya Pak Sodrun penasaran.

“Mereka akan mulai alih tugas menjadi guru di jenjang yang lebih tinggi atau berhak atas jabatan yang lebih tinggi seperti kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, dan lain-lain. Jadi kompetisi untuk memperoleh jabatan di sini benar-benar dilakukan secara sehat berdasarkan kompetensi dan pengalaman bukan karena uang dan kekuasaan.” Jawab tukang kebun dengan lugas.

Usia guru yang tidak terlalu terpaut jauh dari siswanya akan memudahkan mereka dalam memperlakukan anak sesuai dengan usianya. Anak adalah tetap anak-anak, bukan orang dewasa ukuran mini. Mereka juga memiliki dunia tersendiri yang khas dan harus dilihat dengan kacamata anak-anak. Untuk itu, menghadapi mereka dibutuhkan kesabaran, pengertian, dan toleransi yang mendalam. (Asfandiyar, 2009:74)

Jadi, jika Saya analogikan sebagai buah mangga, maka mangga yang dipaksa masak sebelum waktunya dengan penggunaan obat-obatan pemercepat proses pemasakan hasilnya juga tidak baik, sebab buah seperti itu biasanya akan cepat pula proses pembusukannya.

“Luar biasa, bahkan seorang tukang kebun saja bisa menjelaskan hal-hal seperti itu.” Gumam Pak Sodrun takjub.

H. KELAS ADALAH RUANG LABORATORIUM TERINDAH

Pak Sodrun kemudian bertanya kepada tukang kebun tentang keberadaan ruang Laboratorium yang biasanya menyimpan segala media, serta alat bantu pembelajaran. Tukang kebun tadi hanya menjawab: “Tidak ada ruang laboratorium di sekolah ini, karena pada dasarnya segala sesuatu yang diperlukan di dalam laboratorium sudah ada di setiap kelas”.

Pak Sodrun semakin tidak percaya, dia berlari kencang ke salah satu kelas dan mengintip keadaan di dalamnya, terlihat dinding kelas yang di cat warna-warni bernuansa cerah ceria, masing-masing kelas mengusung tema yang berbeda-beda. Tentulah dapat ditebak bahwa pengelompokan siswa di masing-masing kelas adalah berdasarkan kesamaan karakteristik dan kecerdasan siswa, jadi ada kelas yang mengusung tema “Back to the nature” dimana hiasan-hiasan yang digunakan di dalamnya menggunakan bahan-bahan alami produk alam. Pastilah penghuninya adalah siswa-siswa yang memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi. Ada juga kelas yang dihias dan diatur sedemikian rupa sehingga meja-mejanya dibuat melingkar menyerupai meja bar yang biasa ada di kafe-kafe, dan di tengah-tengah kelas ada sebuah panggung, tempat siswa mendemonstrasikan pekerjaan dan keahliannya. Tentulah ini kelas dengan siswa-siswa yang memiliki kecerdasan musik dan cita rasa seni yang tinggi.

Kemudian Pak Sodrun tertarik di salah satu kelas dengan dinding-dindingnya yang dipenuhi dengan gambar-bambar tokoh paling berpengaruh di dunia, tidak ketinggalan juga pahlawan-pahlawan nasional Indonesia juga ikut nampang di salah satu dindingnya. Di bagian depan, gambar presiden dan wakil presiden terlihat mengapit replika burung garuda, bagian ini hampir sama dengan apa yang sudah ada di kelas Pak Sodrun, bedanya hanya senyum presiden dan wakil presiden yang terlihat lebih lebar dan lebih lepas dari gambar yang ada di kelas Pak Sodrun. Sedangkan bagian dinding yang lain dihabiskan sebagai tempat menggantung kumpulan portofolio hasil pekerjaan siswa.

Seorang guru yang masih muda tampak melempar senyum ketika mengetahui Pak Sodrun sedang memperhatikan dirinya. Pak Sodrun pun tak mampu beranjak terpukau, ketika mengetahui di sekolah ini seorang guru tidak pernah lagi menggunakan kalimat “Baiklah anak-anak, silahkan di buka buku pelajarannya!” tetapi “Baiklah anak-anak silahkan dibuka netbooknya!”Setiap siswa di sekolah ini memang tidak lagi menggunakan buku-buku pelajaran, karena materi pembelajaran sudah disiapkan dalam bentuk buku elektronik yang dapat diunduh kapanpun dan dimanapun melalui fasilitas internet. Setiap netbook di sekolah ini telah terhubung secara on-line sehingga memungkinkan siswa untuk bisa berkomunikasi dengan setiap orang yang ada di sekolah ini.

Tampak di kelas ini hanya ada beberapa siswa dan seorang guru saja, “dimana siswa-siswa yang lain?” kata Pak Sodrun. Kemudian guru muda tadi menghampiri layar besar seukuran papan tulis yang ada di muka kelas, layar tersebut menggunakan sistem touch screen sehingga untuk mengoperasikannya hanya perlu disentuh saja. Tak ada lagi spidol boardmaker, tak ada lagi kapur tulis.

Dalam sekali sentuh, layar tadi otomatis berubah membagi diri menjadi beberapa bagian, tampak jelas di sana gambar beberapa siswa yang terhubung melalui web cam. “Inilah siswa-siswa lain yang saat ini sedang berhalangan hadir, mereka tetap mengikuti pelajaran, dan mereka juga tetap dapat berinteraksi sebagaimana siswa-siswa lain yang berada di kelas”. Pak Sodrun hanya bisa menggelengkan kepala.

I. MENGEMBANGKAN YANG ADA, MENGUSAHAKAN YANG BELUM ADA

Pak Sodrun juga berkesempatan bertemu dengan orang yang memimpin sekolah ini, ditanyakannya rahasia dibalik kepemimpinan sekolah yang baru kali ini ditemuinya itu. Kepala sekolah hanya tersenyum simpul, dikatakannya bahwa semua itu kembali pada diri setiap individu masing-masing, setiap orang memiliki peranan tersendiri yang semuanya harus berlandaskan ketulusan hati. Apa yang sudah ada haruslah dapat dikembangkan, sedangkan apa yang belum ada haruslah menjadi prioritas untuk diadakan di masa yang akan datang.

Pak Sodrun juga menanyakan, bagaimana mungkin seorang guru bisa menyiapkan segala sesuatunya hingga sedetail ini? Sesempurna ini? Kemudian kepala sekolah membawanya ke ruang kerja. “Masing-masing guru di sini tidak bekerja sendirian, mereka dibantu oleh beberapa ahli yang terhimpun dalam beberapa departemen yang menangani bagian-bagian tertentu seperti bagian pembuatan media, bagian penyusunan materi pembelajaran, bagian penelitian tindakan kelas, dan lain-lain yang semuanya bekerja layaknya sebuah konsultan pendidikan. Sedangkan tugas guru adalah sebagai penentu metode atau teknik apa yang tepat untuk disajikan kepada siswa berdasarkan karakteristik kelas. Selain itu juga untuk menentukan media yang tepat untuk mengoptimalkan perilaku belajar yang dimiliki masing-masing siswa. Setiap orang memunculkan perilaku belajar yang berbeda, keunikan perilaku belajar ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik yang menentukan perilaku belajar, seperti: gaya belajar (visual vs auditif), gaya kognitif (field dependent vs field independent), bakat, minat, tingkat kecerdasan, kematangan intelektual, dan lainnya yang bisa diacukan pada karakteristik individual siswa. (Degeng, 2008:13)

Kepala sekolah juga menjelaskan bahwa tidak semua pembelajaran di sini menganut aliran konstruktivistik, pada kelas-kelas tertentu yang mungkin memang karakteristik siswanya tidak cocok dengan pembelajaran model konstruktivistik maka digunakanlah metode konvensional yang tentunya dengan sedikit pengembangan. Intinya, apapun model pembelajarannya selama semua itu membawa kemajuan dan manfaat positif bagi siswa maka semuanya akan diterapkan.

Pak Sodrun berkeringat dingin, dia merasa tidak pantas bila berada di sini, banyak hal yang harus dibenahi dalam dirinya sebagai seorang guru, Pak Sodrun mengundurkan diri dan segera mencari jalan pulang, kembali ke dunianya, sekolahnya, dan siswa-siswa yang telah menunggu kreasinya.

Bunyi bel panjang membangunkan Pak Sodrun dari mimpinya, Pak Sodrun segera mengakhiri pembelajaran hari itu dan sesegera mungkin menyusun rencana untuk pembelajaran esok hari

J. KOMITMEN DALAM MENYIKAPI PERUBAHAN

Pak Sodrun mulai menyadari bahwa apa yang dia pelajari dari ayahnya saja tidak cukup menjadi bekal bagi profesinya sebagai seorang guru. Perubahan zaman juga mempengaruhi perubahan paradigma baru dalam pendidikan. Itulah yang saat ini sedang dipikirkan Pak Sodrun, yaitu tentang perubahan.

Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tidak bisa lari menjauh dari perubahan—karena semua di sekeliling kita juga sama-sama bergerak. Sesuatu yang baru kita lalui misalnya, sedetik kemudian akan menjadi masa yang telah lewat. Namun demikian, meskipun perubahan merupakan kepastian, tapi kita harus tetap berpegang teguh pada komitmen dalam menyikapi perubahan. (Mudhi’uddin, 2009:102)

Pak Sodrun mengambil kapur dan menuliskan sebuah kalimat besar-besar di dinding kelas; MANUSIA BARU TELAH LAHIR, SEMANGAT BARU TELAH TERUKIR. Seluruh siswa memandang heran, berharap sesuatu yang buruk tidak menimpa gurunya itu.

K. KEPUSTAKAAN

Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif? Bandung: Dar! Mizan.

Degeng, I Nyoman Sudana. 2008. Media Pembelajaran: Menuju Pribadi Unggul Lewat Perbaikan Kualitas Belajar Mengajar. Surabaya: UNIPA University Press.

KTSP DALAM PROBLEMATIKA PENDIDIKAN: KEMAJUAN YANG JAUH DI MATA NAMUN DEKAT DI HATI


  1. PENDAHULUAN

Jika boleh kita punya pikiran buruk terhadap negara-negara maju, maka sesungguhnya mereka dengan digdayanya telah memonopoli “status sosial” negara-negara lain yang berada di bawahnya. Contohnya negara kita sendiri, status “negara berkembang” yang disandang Indonesia selama bertahun-tahun merupakan suatu bentuk monopoli kecil dalam bentuk bahasa yang menguntungkan bagi negara-negara maju. Bagaimana tidak? Status “begara berkembang” sebenarnya telah menempatkan Indonesia di urutan menengah ke bawah.

Selama bertahun-tahun Indonesia berkembang, namun gelar “negara berkembang” terus melekat untuk negara Indonesia, tak perduli seberapa besar pun perkembangan yang telah kita ciptakan. Tak perduli juga seberapa besar kemajuan yang telah kita raih atas perkembangan-perkembangan yang kita ciptakan. Apakah Indonesia ditakdirkan untuk menunggu sampai negara-negara maju tadi berubah status menjadi “negara statis/negara diam di tempat” baru kemudian Indonesia mendapatkan status “negara maju?” Saya rasa tidak perlu, sebab pada dasarnya negara kita ini sudah merupakan negara maju. Kata “berkembang” adalah prosesnya, sedangkan kata “maju” adalah sebagai suatu hasil.

Kemajuan itu sebenarnya dapat kita rasakan dalam berbagai bidang, salah-satunya adalah dalam bidang pendidikan. Contoh konkrit adalah dengan munculnya KTSP sebagai suatu kurikulum baru yang justru oleh sebagian masyarakat terutama oleh para pelaksana pendidikan di Indonesia disikapi dengan rasa pesimis dan “sakit hati”. Kemunculan nama beberapa kurikulum baru dalam jangka waktu yang relatif singkat hingga yang terakhir ini disebut dengan KTSP telah meresahkan hati para pendidik karena dianggap sebagai bentuk ketidak ajegan pemerintah dalam usaha mencapai dan melaksanakan visi dan misi pendidikan Indonesia. Padahal jika kita sikapi dengan hati dan pikiran yang jernih, maka sebenarnya kemunculan beberapa kurikulum baru itu bukanlah merupakan suatu perubahan, tetapi lebih kepada perkembangan yang nantinya akan dapat kita rasakan hasilnya sebagai suatu kemajuan. Oleh karena itu, perlulah kiranya kita sebagai warga negara Indonesia, terlebih sebagai para pendidik bangsa dapat memberikan sumbang pikir untuk mencari celah yang perlu dikembangkan demi mencapai tujuan pendidikan nasional.

B. KTSP: KEKUATAN DAN KELEMAHAN

Ada banyak istilah yang tercipta seiring kemunculan KTSP, mulai dari “Kurikulum Tidak Siap Pakai” hingga “Kurikulum Tidak Sulit Penerapannya”. Semua itu adalah sebagai bentuk pro dan kontra atas kehadiran KTSP sebagai suatu kurikulum yang dirasakan baru. Pro dan kontra tersebut kemudian tidak lepas dari analisa kekuatan dan kelemahan dari KTSP itu sendiri.

Kande (2008) dalam suatu kesimpulannya menyatakan bahwa KTSP sebagai kurikulum baru memiliki kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatan KTSP adalah sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas sekolah dan sarana mengembangkan keunggulan lokal yang dapat mendorong terjadinya proses "globalisasi lokal" di Indonesia. Sedangkan kelemahan KTSP adalah meninggalkan celah besar dalam upaya pencapaian standar lulusan dan standar kelulusan. Kelemahan lain adalah KTSP menyimpan potensi destruktif yang dapat berakibat pada disintegrasi bangsa.

KTSP SEBAGAI SARANA PENGEMBANG KEMANDIRIAN

DAN KREATIVITAS

Berpijak pada kesimpulan yang dibuat oleh Kande di atas memang ada benarnya, KTSP lahir seiring dengan tuntutan perkembangan yang menghendaki desentralisasi, otonomi, fleksibilitas, dan keluwesan dalam penyelenggaraan pendidikan. Seperti kita ketahui bersama, sistem pendidikan di negara kita telah cukup lama terpaku dengan sistem pendidikan yang sentralistik sehingga menyebabkan sekolah—terutama di daerah-daerah mengalami suatu ketergantungan tingkat tinggi terhadap pusat, dapatlah ditebak bahwa hal itu juga mengurangi tingkat kemandirian dan kreativitas sekolah.

Sistem pendidikan yang sentralistik bukan berarti salah sepenuhnya dalam proses pembentukan charachter nation di Indonesia. Sebab, walau bagaimanapun juga sudah sejak dahulu kala negara Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman karakter, jadi memang akan ditemui kendala jika kita akan menciptakan suatu character nation. Sistem pendidikan yang sentralistik juga harus diakui telah membawa beberapa kemajuan di zamannya. Namun sebagai negara yang terus selalu berkembang untuk maju, sudah sepantasnya kita mencari solusi lebih tepat untuk lebih mengoptimalkan kemajuan yang ingin kita raih dalam menghadapi perubahan zaman.

Sampai saat ini, otonomi daerahlah yang diharapkan dapat menjawab tantangan atas perubahan itu. Otonomi daerah merupakan konsep paradigmatik di mana komponen yang menyertainya sebagai sebuah sistem belum jelas benar. Pola ketergantungan antarkomponen belum bisa diprediksi standardisasinya, sekaligus belum diperikan secara rinci.

Kalangan yang optimis berpandangan, pendidikan di bawah otonomi daerah akan meningkatkan mutu akuntabilitas pengelolaan pendidikan, baik internal maupun eksternal. Prakarsa administrator pendidikan di daerah akan tumbuh kembang menggembirakan tanpa menunggu instruksi dan konsultasi instansial ke atas. Ketatausahaan pendidikan pun akan mengalami kelancaran dari yang selama ini terjadi mengingat pendeknya meja birokrasi. Sedangkan kalangan yang pesimis justru berpandangan lain. Otonomi daerah akan mengukuhkan subkultur arogansi kekuasaan akibat belum otonomnya perilaku institusi kependidikan. Bahkan ada kemungkinan makin intensifnya rongrongan terhadap kewibawaan pendidikan melalui penyalahgunaan fungsi administratif. Kecenderungan merasa paling berkuasa di kalangan pegawai Dinas P&K sulit untuk bisa dihindari. Sehingga derajat kebergantungan para praktisi pendidikan dasar dan menengah akan menimbulkan dampak tidak sehatnya iklim edukatif. (Mutrofin, 2002:108)

Terlepas dari itu semua, kalau kita masih menunggu adanya perbaikan perilaku institusi kependidikan serta perbaikan fungsi administratif, maka pekerjaan rumah Indonesia dalam otonomi pendidikan akan terasa berat untuk diselesaikan.

PIHAK KETIGA ANTARA PENGEMBANGAN SILABUS

DAN STANDAR KOMPETENSI LULUSAN ADALAH UNAS

Korelasi antara standar isi dan standar kelulusan adalah bahwa standar isi memberikan arahan bagi pengembangan silabus di tingkat sekolah yang selanjutnya diharapkan dapat mencapai standar kompetensi lulusan. Namun, antara pengembangan silabus dan standar kompetensi lulusan juga masih harus memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi sebagai akibat adanya Ujian Nasional (UNAS) yang turut andil dalam menentukan kelulusan. Ini menunjukkan bahwa masih ada keterbatasan bagi sekolah dalam pengembangan silabusnya.

Sementara itu, kalau terjadi masalah seperti rendahnya tingkat kelulusan, pengangguran tamatan sekolah dan di kalangan orang berpendidikan pada umumnya, sekolah mendapat tudingan. Biasanya alamat tudingan itu adalah kurikulum—kurikulum dikatakan tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Sekolah dikatakan menghasilkan tamatan yang rendah mutunya, tamatan yang “tidak siap pakai.” Terdengar seperti membela diri, orang pendidikan/sekolah mengatakan hal itu akibat situasi krisis, yang biangnya adalah kemelut masalah ekonomi dan politik. Daripada ngresula (berkeluh kesah, sifat fatalistik), dengan menggunakan pikiran positif orang pendidikan bertanya, Apa yang mesti dikerjakan sekolah? Bagaimana sekolah mendidik/membimbing siswa mengembangkan sikap positif dan sedia berbuat waktu menghadapi masalah? Waktu menghadapi tantangan? (Munandir, 2009:129-130)

KTSP DALAM KAITANNYA DENGAN PROBLEM KEBANGSAAN

Fenomena lain sebagai bentuk penyikapan kita terhadap KTSP adalah bahwa otonomi pendidikan yang terkandung dalam KTSP juga memiliki potensi destruktif bagi kesatuan bangsa. Kewenangan dalam pengembangan aspek-aspek yang menunjang ciri keberagaman karakteristik bangsa tidak dapat dimungkiri sekecil apapun bila tidak diawasi secara menyeluruh dapat menguatkan ciri kesukuan atau dengan lain dapat memperkuat karakteristik kesukuan bukan karakteristik kebangsaan sehingga cenderung menimbulkan persaingan yang dapat mempengaruhi nilai-nilai kesatuan.

Kelompok-kelompok dengan berbagai latar belakang yang berbeda jika tidak diikat dan terikat dalam sebuah kesadaran nationality maka dipastikan secara esensial sebenarnya tidak ada kesatuan, tidak ada kerekatan, dan warga terpecah-belah ke dalam latar belakang yang berbeda-beda itu. Keterpecahan itu menjadi potensi destruktif bagi kesatuan bangsa. (Kande, 2008)

C. PENUTUP

Beberapa problematika yang telah disebutkan di atas tidak perlu dijadikan alasan sebagai hambatan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, karena walau bagaimanapun setiap rintangan pasti ada jalan keluarnya. Kande (2008) juga sempat memberikan solusi dari berbagai kelemahan yang terdapat dalam KTSP, yaitu bahwasanya kelemahan KTSP dapat diatasi dengan menerapkan pendidikan multikulturalisme, selain itu juga konsisten menjalankan Pasal 72 PP 19/2005. Yaitu "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:

a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran;

b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;

c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan

d. lulus Ujian Nasional

Merujuk pada aturan di atas, maka dari segi implementasi, belum sesuai dengan aturan, yang mana hanya menggunakan UN sebagai patokan dalam menentukan kelulusan siswa. Pada pihak lain masih pasal yang sama ayat (2), "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Di sini nampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggungjawab kepada pihak sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. Pertanyaannya adalah apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pihak pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Apakah dari segi standar isi (SI) telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama.

Dengan demikian, KTSP dalam perkembangan pendidikan dapat disikapi sebagai suatu kemajuan yang meski tampak jauh di mata namun dekat di hati.

D. KEPUSTAKAAN

Kande, Fredrik. 2008. Artikel: Membedah Kekuatan dan Kelemahan KTSP (Antara Globalisasi Lokal dan Ancaman Disintegrasi Bangsa). Yogyakarta.

Munandir. 2009. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: AV Pustaka Publisher.

Mutrofin. 2002. Otokritik Pendidikan: Gagasan-Gagasan Evaluatif. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.