Rabu, 06 Januari 2010

KTSP DALAM PROBLEMATIKA PENDIDIKAN: KEMAJUAN YANG JAUH DI MATA NAMUN DEKAT DI HATI


  1. PENDAHULUAN

Jika boleh kita punya pikiran buruk terhadap negara-negara maju, maka sesungguhnya mereka dengan digdayanya telah memonopoli “status sosial” negara-negara lain yang berada di bawahnya. Contohnya negara kita sendiri, status “negara berkembang” yang disandang Indonesia selama bertahun-tahun merupakan suatu bentuk monopoli kecil dalam bentuk bahasa yang menguntungkan bagi negara-negara maju. Bagaimana tidak? Status “begara berkembang” sebenarnya telah menempatkan Indonesia di urutan menengah ke bawah.

Selama bertahun-tahun Indonesia berkembang, namun gelar “negara berkembang” terus melekat untuk negara Indonesia, tak perduli seberapa besar pun perkembangan yang telah kita ciptakan. Tak perduli juga seberapa besar kemajuan yang telah kita raih atas perkembangan-perkembangan yang kita ciptakan. Apakah Indonesia ditakdirkan untuk menunggu sampai negara-negara maju tadi berubah status menjadi “negara statis/negara diam di tempat” baru kemudian Indonesia mendapatkan status “negara maju?” Saya rasa tidak perlu, sebab pada dasarnya negara kita ini sudah merupakan negara maju. Kata “berkembang” adalah prosesnya, sedangkan kata “maju” adalah sebagai suatu hasil.

Kemajuan itu sebenarnya dapat kita rasakan dalam berbagai bidang, salah-satunya adalah dalam bidang pendidikan. Contoh konkrit adalah dengan munculnya KTSP sebagai suatu kurikulum baru yang justru oleh sebagian masyarakat terutama oleh para pelaksana pendidikan di Indonesia disikapi dengan rasa pesimis dan “sakit hati”. Kemunculan nama beberapa kurikulum baru dalam jangka waktu yang relatif singkat hingga yang terakhir ini disebut dengan KTSP telah meresahkan hati para pendidik karena dianggap sebagai bentuk ketidak ajegan pemerintah dalam usaha mencapai dan melaksanakan visi dan misi pendidikan Indonesia. Padahal jika kita sikapi dengan hati dan pikiran yang jernih, maka sebenarnya kemunculan beberapa kurikulum baru itu bukanlah merupakan suatu perubahan, tetapi lebih kepada perkembangan yang nantinya akan dapat kita rasakan hasilnya sebagai suatu kemajuan. Oleh karena itu, perlulah kiranya kita sebagai warga negara Indonesia, terlebih sebagai para pendidik bangsa dapat memberikan sumbang pikir untuk mencari celah yang perlu dikembangkan demi mencapai tujuan pendidikan nasional.

B. KTSP: KEKUATAN DAN KELEMAHAN

Ada banyak istilah yang tercipta seiring kemunculan KTSP, mulai dari “Kurikulum Tidak Siap Pakai” hingga “Kurikulum Tidak Sulit Penerapannya”. Semua itu adalah sebagai bentuk pro dan kontra atas kehadiran KTSP sebagai suatu kurikulum yang dirasakan baru. Pro dan kontra tersebut kemudian tidak lepas dari analisa kekuatan dan kelemahan dari KTSP itu sendiri.

Kande (2008) dalam suatu kesimpulannya menyatakan bahwa KTSP sebagai kurikulum baru memiliki kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatan KTSP adalah sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas sekolah dan sarana mengembangkan keunggulan lokal yang dapat mendorong terjadinya proses "globalisasi lokal" di Indonesia. Sedangkan kelemahan KTSP adalah meninggalkan celah besar dalam upaya pencapaian standar lulusan dan standar kelulusan. Kelemahan lain adalah KTSP menyimpan potensi destruktif yang dapat berakibat pada disintegrasi bangsa.

KTSP SEBAGAI SARANA PENGEMBANG KEMANDIRIAN

DAN KREATIVITAS

Berpijak pada kesimpulan yang dibuat oleh Kande di atas memang ada benarnya, KTSP lahir seiring dengan tuntutan perkembangan yang menghendaki desentralisasi, otonomi, fleksibilitas, dan keluwesan dalam penyelenggaraan pendidikan. Seperti kita ketahui bersama, sistem pendidikan di negara kita telah cukup lama terpaku dengan sistem pendidikan yang sentralistik sehingga menyebabkan sekolah—terutama di daerah-daerah mengalami suatu ketergantungan tingkat tinggi terhadap pusat, dapatlah ditebak bahwa hal itu juga mengurangi tingkat kemandirian dan kreativitas sekolah.

Sistem pendidikan yang sentralistik bukan berarti salah sepenuhnya dalam proses pembentukan charachter nation di Indonesia. Sebab, walau bagaimanapun juga sudah sejak dahulu kala negara Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman karakter, jadi memang akan ditemui kendala jika kita akan menciptakan suatu character nation. Sistem pendidikan yang sentralistik juga harus diakui telah membawa beberapa kemajuan di zamannya. Namun sebagai negara yang terus selalu berkembang untuk maju, sudah sepantasnya kita mencari solusi lebih tepat untuk lebih mengoptimalkan kemajuan yang ingin kita raih dalam menghadapi perubahan zaman.

Sampai saat ini, otonomi daerahlah yang diharapkan dapat menjawab tantangan atas perubahan itu. Otonomi daerah merupakan konsep paradigmatik di mana komponen yang menyertainya sebagai sebuah sistem belum jelas benar. Pola ketergantungan antarkomponen belum bisa diprediksi standardisasinya, sekaligus belum diperikan secara rinci.

Kalangan yang optimis berpandangan, pendidikan di bawah otonomi daerah akan meningkatkan mutu akuntabilitas pengelolaan pendidikan, baik internal maupun eksternal. Prakarsa administrator pendidikan di daerah akan tumbuh kembang menggembirakan tanpa menunggu instruksi dan konsultasi instansial ke atas. Ketatausahaan pendidikan pun akan mengalami kelancaran dari yang selama ini terjadi mengingat pendeknya meja birokrasi. Sedangkan kalangan yang pesimis justru berpandangan lain. Otonomi daerah akan mengukuhkan subkultur arogansi kekuasaan akibat belum otonomnya perilaku institusi kependidikan. Bahkan ada kemungkinan makin intensifnya rongrongan terhadap kewibawaan pendidikan melalui penyalahgunaan fungsi administratif. Kecenderungan merasa paling berkuasa di kalangan pegawai Dinas P&K sulit untuk bisa dihindari. Sehingga derajat kebergantungan para praktisi pendidikan dasar dan menengah akan menimbulkan dampak tidak sehatnya iklim edukatif. (Mutrofin, 2002:108)

Terlepas dari itu semua, kalau kita masih menunggu adanya perbaikan perilaku institusi kependidikan serta perbaikan fungsi administratif, maka pekerjaan rumah Indonesia dalam otonomi pendidikan akan terasa berat untuk diselesaikan.

PIHAK KETIGA ANTARA PENGEMBANGAN SILABUS

DAN STANDAR KOMPETENSI LULUSAN ADALAH UNAS

Korelasi antara standar isi dan standar kelulusan adalah bahwa standar isi memberikan arahan bagi pengembangan silabus di tingkat sekolah yang selanjutnya diharapkan dapat mencapai standar kompetensi lulusan. Namun, antara pengembangan silabus dan standar kompetensi lulusan juga masih harus memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi sebagai akibat adanya Ujian Nasional (UNAS) yang turut andil dalam menentukan kelulusan. Ini menunjukkan bahwa masih ada keterbatasan bagi sekolah dalam pengembangan silabusnya.

Sementara itu, kalau terjadi masalah seperti rendahnya tingkat kelulusan, pengangguran tamatan sekolah dan di kalangan orang berpendidikan pada umumnya, sekolah mendapat tudingan. Biasanya alamat tudingan itu adalah kurikulum—kurikulum dikatakan tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Sekolah dikatakan menghasilkan tamatan yang rendah mutunya, tamatan yang “tidak siap pakai.” Terdengar seperti membela diri, orang pendidikan/sekolah mengatakan hal itu akibat situasi krisis, yang biangnya adalah kemelut masalah ekonomi dan politik. Daripada ngresula (berkeluh kesah, sifat fatalistik), dengan menggunakan pikiran positif orang pendidikan bertanya, Apa yang mesti dikerjakan sekolah? Bagaimana sekolah mendidik/membimbing siswa mengembangkan sikap positif dan sedia berbuat waktu menghadapi masalah? Waktu menghadapi tantangan? (Munandir, 2009:129-130)

KTSP DALAM KAITANNYA DENGAN PROBLEM KEBANGSAAN

Fenomena lain sebagai bentuk penyikapan kita terhadap KTSP adalah bahwa otonomi pendidikan yang terkandung dalam KTSP juga memiliki potensi destruktif bagi kesatuan bangsa. Kewenangan dalam pengembangan aspek-aspek yang menunjang ciri keberagaman karakteristik bangsa tidak dapat dimungkiri sekecil apapun bila tidak diawasi secara menyeluruh dapat menguatkan ciri kesukuan atau dengan lain dapat memperkuat karakteristik kesukuan bukan karakteristik kebangsaan sehingga cenderung menimbulkan persaingan yang dapat mempengaruhi nilai-nilai kesatuan.

Kelompok-kelompok dengan berbagai latar belakang yang berbeda jika tidak diikat dan terikat dalam sebuah kesadaran nationality maka dipastikan secara esensial sebenarnya tidak ada kesatuan, tidak ada kerekatan, dan warga terpecah-belah ke dalam latar belakang yang berbeda-beda itu. Keterpecahan itu menjadi potensi destruktif bagi kesatuan bangsa. (Kande, 2008)

C. PENUTUP

Beberapa problematika yang telah disebutkan di atas tidak perlu dijadikan alasan sebagai hambatan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, karena walau bagaimanapun setiap rintangan pasti ada jalan keluarnya. Kande (2008) juga sempat memberikan solusi dari berbagai kelemahan yang terdapat dalam KTSP, yaitu bahwasanya kelemahan KTSP dapat diatasi dengan menerapkan pendidikan multikulturalisme, selain itu juga konsisten menjalankan Pasal 72 PP 19/2005. Yaitu "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:

a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran;

b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;

c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan

d. lulus Ujian Nasional

Merujuk pada aturan di atas, maka dari segi implementasi, belum sesuai dengan aturan, yang mana hanya menggunakan UN sebagai patokan dalam menentukan kelulusan siswa. Pada pihak lain masih pasal yang sama ayat (2), "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Di sini nampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggungjawab kepada pihak sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. Pertanyaannya adalah apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pihak pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Apakah dari segi standar isi (SI) telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama.

Dengan demikian, KTSP dalam perkembangan pendidikan dapat disikapi sebagai suatu kemajuan yang meski tampak jauh di mata namun dekat di hati.

D. KEPUSTAKAAN

Kande, Fredrik. 2008. Artikel: Membedah Kekuatan dan Kelemahan KTSP (Antara Globalisasi Lokal dan Ancaman Disintegrasi Bangsa). Yogyakarta.

Munandir. 2009. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: AV Pustaka Publisher.

Mutrofin. 2002. Otokritik Pendidikan: Gagasan-Gagasan Evaluatif. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.

Tidak ada komentar: