Rabu, 06 Januari 2010

SIGIT GURU BANTU: AKU INGIN MENGAJAR LAYAKNYA SUPERSTAR



(Kesenjangan antara konsep dan konteks pembelajaran)

Andai aku Pasha Ungu, semua siswa kan mengagumiku

Andai aku Ariel Peterpan, ku jadi guru beken karena gue keren

Tapi kenyataan aku bukan siapa-siapa...

ku hanya berusaha mengajar...

tidak sekadar apa adanya tapi ada apa-apanya...

(dikutip dari lirik lagu “Ku Bukan Superstar” oleh Project Pop dengan pengubahan)

A. AKU TERLAHIR SEBAGAI SEORANG GURU

Baru setahun yang lalu aku terlahir sebagai seorang guru, umurku pun baru 22 tahun waktu itu. Meskipun aku dibesarkan di lingkungan guru tetapi aku tidak serta merta mendapatkan “status guru”-ku begitu saja, delapan belas tahun sudah aku menuntut ilmu. Ayah-ibu ku juga adalah seorang guru. Kalau boleh membanggakan diri, dulu ayahku adalah seorang guru yang memiliki kharisma dan kesabaran, ketelatenan dan terkenal dengan gebrakan-gebrakan dalam pendidikan. Hal itu kuketahui dari guru-guru semasa sekolahku yang juga sempat menjadi muridnya dulu. Jadi tidak heran jika karir keguruannya meroket cepat seiring dengan semangatnya untuk bisa naik pangkat.

Tapi sejak diberlakukannya otonomi daerah, ayahku terpental jauh dari dunia pendidikan. Semua itu karena kecurangan politik dan praktik tidak terpuji dari sebagian orang yang saling berebut untuk mengamankan kedudukan. Jabatan tertinggi yang pernah diraihnya di dunia pendidikan adalah sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Sekarang dia seperti terdampar sebagai salah satu Kepala Bagian di instansi pemerintah di luar pendidikan. Tak terdengar lagi mimpi-mimpinya tentang dunia pendidikan ke depan, yang aku tahu dia hanya masih saja berangkat kerja ketika matahari belum terbit dan pulang setelah matahari tenggelam (sebuah tauladan yang rasanya sulit aku tirukan). Begitulah perubahan zaman yang tak lagi melihat kompetensi seseorang, tetapi lebih memandang kekuasaan yang dimiliki seseorang. Sementara di lain pihak, kurikulum kita masih saja berbicara standar kompetensi maupun kompetensi dasar.

B. PRODUK BEHAVIORISTIK YANG BERUSAHA MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK ITU AKU

Saat belajar dulu, aku selalu diajari tentang keteraturan, tentang bagaimana materi pembelajaran itu telah terstruktur secara rapi dan dituangkan dalam pikiran menggunakan prinsip “Ala bisa karena biasa”. Menjadikan belajar adalah suatu kebiasaan, dan menghafalkan suatu konsep menjadi sebuah pengetahuan. Jadilah aku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku.

Namun, sebagai manusia yang dinamis tentunya kita harus dapat menyikapi perubahan zaman yang tak pernah statis, pola belajar seperti itu tentulah sulit bila diterapkan kepada siswa-siswa kita zaman sekarang. Maka kenallah aku dengan model pembelajaran konstruktivistik yang aku mulai dengan perubahan lingkungan belajar. Aku menciptakan sendiri panggung untukku berorkestrasi, membuat kelas menyerupai bangunan amphiteater di zaman Yunani Kuno, bahkan kadang meja dan bangku menjadi begitu tidak teratur sesuai dengan keinginan siswa.

Tetapi seringkali aku mendapat teguran dari guru-guru yang lain karena posisi meja dan bangku yang semrawut seperti itu mengganggu jam pelajaran lain seusai pelajaranku, guru-guru itu mengeluhkan banyak waktu terbuang hanya untuk menata kembali meja dan bangku yang tatanannya semrawut karena model pembelajaranku.

Baiklah aku mengalah untuk hal itu, masih banyak pilihan teknik pembelajaran konstruktivistik yang bisa aku terapkan, tetapi setiap teknik pembelajaran yang aku terapkan tidak pernah bisa efektif bagi seluruh siswa dalam satu kelas. Setelah aku analisa ternyata karakteristik siswa di kelas ini begiru beragam, sehingga teknik pembelajaran yang cocok bagi satu siswa tertentu belum tentu cocok untuk siswa yang satunya lagi. Ditambah lagi jumlah siswa dalam satu kelas yang melebihi muatan kelas pada umumnya. Pekerjaan yang benar-benar menguras tenaga bagiku.

C. AKULAH PEMBINA UPACARA IDOLA SISWA

Sekolah tempatku mengajar adalah sekolah pinggiran, dimana sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan sebagian lagi bercocok tanam. Maka seharusnya murid-muridku adalah murid-murid cerdas yang setiap harinya mengonsumsi makanan hasil olahan alam. Tetapi kenyataan tidak demikian, ikan hasil tangkapan, dan tanaman hasil panen lebih banyak untuk dikirim dan diperjual-belikan ke luar daerah, sehingga murid-muridku ini adalah murid-murid yang secara gizi masih belum berkecukupan.

Jadi tidak heran bila perkembangan kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya sedikit lamban. Hanya beberapa di antara mereka yang perkembangannya lebih cepat dibanding yang lain adalah siswa-siswa yang orang tuanya bekerja sebagai pegawai pemerintahan juga beberapa lagi sebagai pedagang/wiraswastawan yang ketika ditanya mengaku berkesempatan minum susu.

Barulah aku ketahui bahwa banyak orang tua yang kurang memperhatikan kebutuhan asupan gizi anak-anaknya. Hal itu terbukti setiap pelaksanaan upacara bendera, banyak murid-muridku yang berjatuhan pingsan karena alasan belum sarapan. Mereka terbiasa sarapan di kantin sekolah saat jam istirahat karena pagi-pagi sekali orang tuanya sudah berangkat bekerja, jadi tidak sempat menyiapkan sarapan.

Posisi berdiri yang memang tidak pernah bisa menunjukkan sikap sempurna adalah karena memang ketahanan tubuhnya lemah sehingga cepat sekali mereka kehilangan energi saat berdiri. Ditambah lagi tekanan dari guru-guru yang mengharuskan mereka bisa berdiri sempurna saat upacara, membuat mereka kehilangan selera dan akhirnya pada upacara-upacara selanjutnya mereka menjadi enggan mengikutinya.

Sempat terbesit dalam pikiranku, jika menginginkan anak-anak ini bisa mengikuti upacara sebagaimana mestinya, maka perlulah diadakan acara sarapan bersama setiap paginya, terlebih sebelum upacara dimulai. Tetapi apa mungkin? Yang bisa kulakukan adalah ketika aku berkesempatan menjadi pembina upacara, maka yang aku sampaikan cukuplah hanya kata-kata mutiara yang durasinya tak pernah lebih dari 5 menit, sehingga upacara terasa singkat, sebelum korban berjatuhan, dan jadilah aku pembina upacara idola siswa, meski kepala sekolah sering menegurku karena hal itu.

D. BAGIKU, KESAN PERTAMA HARUSLAH MENGGODA

Penampilan juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang, padahal kepercayaan diri itu adalah salah satu kunci keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu, termasuk juga guru. Berdasarkan pengalamanku dulu sewaktu belajar, maka guru yang tidak pernah memperhatikan penampilannya selalu menjadi bahan pergunjingan siswa. Bahkan tak jarang yang pada akhirnya menjadi bahan olokan siswa. Maka sebisa mungkin aku berpenampilan menarik untuk bisa mendapat tempat di hati siswa. Rambutku menjadi hitam klimis dengan potongan shaggy yang trendy. Cara bicaraku juga kubuat sekomunikatif mungkin, bahkan tak jarang setiap akan memulai pelajaran aku selalu memekikkan kata-kata bijak dari para filsuf-filsuf terkenal untuk menumbuhkan motivasi siswa, sebuah lagu pengantar pembelajaran yang selalu kunyanyikan pastilah mendapat tepukan tangan yang meriah dari siswa-siswaku. Selalu tersenyum dan sabar menghadapi siswa yang berbuat onar adalah trademarkku.

Awalnya aku memang menjadi dekat dengan siswa, beberapa siswa bahkan tidak lagi sungkan menanyakan berapa nomor ponselku, menanyakan materi-materi yang belum mereka pahami, bahkan meminta pertimbangan terhadap keputusan-keputusan yang akan mereka ambil dalam hidup mereka. Tetapi, lama-kelamaan kedekatan itu berarti ganda bagi mereka. Beberapa diantara mereka kemudian ada yang tidak lagi malu-malu untuk mengungkapkan kekaguman bahkan perasaan sayangnya terhadapku. Maka matilah aku, saat itu juga kuganti nomor kartuku.

E. CARA BERPAKAIANKU MENJADI TRENDSETTER SISWA

Mungkin alasan seorang artis ataupun grup musik tidak mau memakai kostum yang menyerupai kostum seorang guru adalah karena memang seragam untuk guru kurang begitu fleksibel sehingga dikhawatirkan akan mempersulit gerakan mereka di atas panggung. Bahkan mungkin kostum seorang satpam hingga office boy dianggapnya lebih efektif di atas panggung karena terbukti beberapa artis pernah mengunakannya saat konser. Terkesan unik tetapi menarik.

Kalau dipikir-pikir memang ada benarnya, seragam-guru milikku ini memang terasa kurang efektif untuk aku gunakan saat belajar, selain warnanya yang sudah pudar dan mengkilap karena sudah terlalu sering disetrika, modelnya juga sudah tidak up to date lagi. Itulah kenapa aku selalu menyarankan bagi perempuan-guru untuk mendesain ulang roknya menjadi model celana. Karena jika Kamu masih menggunakan rok, maka Kamu tidak akan mampu mengejar murid-murid Kamu yang gesit.

Jadi memang benar bahwa pakaian juga mempengaruhi ketertarikan siswa terhadap proses pembelajaran, karena itu maka suatu hari pernah Aku mengenakan baju lengan panjang berkerah model body fit dilengkapi dasi dan dipadu padankan dengan celana executive model pencil, yang menurutku lebih nyaman aku kenakan saat mengajar bahkan sedikit meningkatkan performa mengajar.

Tetapi tidak lama, kembali aku mendapatkan teguran dari bagian ketertiban karena ternyata banyak siswa yang kemudian mempermak celananya seperti model celana yang pernah aku kenakan, yang terjadi adalah model pakaian siswa yang tidak lagi seragam. Alasan mereka singkat, “Biar lebih percaya diri.” Begitu katanya.

F. PADA AKHIRNYA, SEMUA ITU KARENA AKU

Seperti juga halnya guru-guru yang lain, maka aku pun menginginkan siswa-siswaku sukses dalam ujian nasional sebagai tolak ukur seberapa berhasilkah aku dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah ini.

Hasil uji coba Unas yang pertama cukup membuatku optimis siswa-siswaku ini akan meraih hasil memuaskan dalam Unas yang sebenarnya. Waktu itu aku sendiri yang mengawasi mereka. Namun, pada uji coba Unas yang kedua, nilai mereka benar-benar anjlok. Ketika aku tanya murid-muridku, jawaban mereka cukup sederhana; “Semua ini karena Bapak, ketika Bapak yang mengawasi ujian kami, kami dapat mengerjakan soal dengan santai. Ketika otak kami mampet, Bapak memperbolehkan kami mengunyah permen, menggeser tempat duduk, dan mengijinkan kami keluar sebentar untuk menghirup udara segar. Tetapi ketika guru lain yang mengawasi, kami semua menjadi tegang, jangankan mengunyah permen, meraut pensil saja takutnya setengah mati. Suasana kelas menjadi mencekam.”

Aku tertegun, sambil sesekali membetulkan posisi kerah bajuku. Ujian Nasional tinggal beberapa bulan lagi, haruskah aku bertobat dan kembali ke cara mengajar yang konvensional dulu?

Tidak ada komentar: