Rabu, 06 Januari 2010

PEMBELAJARAN LANGIT KETUJUH



A. GURU DI UJUNG ZAMAN

Pagi-pagi sekali Pak Sodrun telah bersiap melaksanakan tugas mengajarnya, kegiatan rutin yang tampaknya mulai menjadi terpaksa harus selalu ia jalankan hanya untuk bisa menghidupi anak dan istrinya. Sebelum berangkat Pak Sodrun selalu memandang kalender yang tergantung di dinding rumahnya, menghitung dengan penuh harap kapan awal bulan akan datang dan sesegera mungkin dia akan menerima bayaran bulanan. Namun, mukanya menjadi lesu ketika saat itu kalender masih menunjukkan pertengahan bulan. Pak Sodrun mulai mengayuh sepedanya dengan sangat berat, keringatnya bercucuran. Sepeda yang dimiliki Pak Sodrun adalah satu-satunya peninggalan yang diwarisinya dari sang ayah.

Ayah Pak Sodrun dulunya adalah seorang guru, guru teladan di zamannya yang selalu berangkat pagi-pagi sekali mengayuh sepedanya menembus embun dan membelah sawah-sawah penduduk. Orang-orang yang ditemuinya di jalan selalu menyapanya: “Selamat pagi Pak Guru! Saya titip anak Saya ya!”. Begitulah dengan bangganya ayah Pak Sodrun menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi guru dulu, kini sepeda itu dikayuh oleh Pak Sodrun namun tidak dengan semangatnya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Pak Sodrun?

Awalnya Pak Sodrun memiliki komitmen besar sebagai seorang guru, ia berangkat dari pengalaman-pengalaman sang ayah yang sangat heroik sebagai seorang guru, bahkan ia belajar dari nasihat-nasihat ayahnya tentang menjadi guru yang baik. Namun, komitmen itu berangsur-angsur pudar sejak beberapa tahun yang lalu. Saat itu Pak Sodrun mengayuh sepedanya dengan semangat berapi-api, keringat pun bercucuran dari keningnya, namun tidak seperti ayahnya dulu, sawah-sawah itu kini telah menjadi bangunan-bangunan padat yang dinamakan pabrik, jalan yang sepi berkabut dulu kini menjadi jalanan berdebu dan panas sekaligus dipadati kendaraan bermotor, satu persatu orang-orang yang ditemui Pak Sodrun di jalan tak sedikitpun yang memperhatikannya. Pemandangan yang sama setiap hari, yang tak pernah bersahabat dan tak pernah menghargai profesinya sebagai seorang guru.

Di depannya sudah nampak tembok beton tinggi menjulang yang merupakan pagar sekolah dimana tempat ia mengajar, meski sebenarnya jauh lebih mirip seperti pagar rumah tahanan. Keadaan di kelas juga tidak jauh berbeda, siswa-siswanya hanya menjadi tenang sejenak saat dia mengucap “Assalamualaikum anak-anak..” setelah itu kelas menjadi ramai dan gaduh sepanjang jam pelajaran, sepanjang hari, dan sepanjang tahun.

Kini Pak Sodrun hanya bisa duduk terpaku di meja kelasnya, Pak Sodrun tidak bisa berbuat apa-apa memandangi saja siswa-siswanya yang gaduh, yang onar, yang tidak punya semangat belajar. Begitupula dirinya yang tak punya semangat mengajar. Sampai akhirnya Pak Sodrun melipat kedua tanganya di atas meja dan menelungkupkan kepalanya, matanya terpejam.

B. MIMPI SEORANG GURU DI SIANG BOLONG

Pak Sodrun mulai bermimpi seorang siswa berseragam putih-putih dan bersayap melayang-layang di angkasa, sebelum akhirnya turun dan menarik tangannya ikut serta terbang menembus langit hingga lapis ketujuh. Kemudian Pak Sodrun tiba di sebuah tempat yang dinamakan sekolah.

C. SEKOLAH BERPAGAR HATI

Pak Sodrun masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya, dalam hatinya dia terus bertanya-tanya, kalau tempat ini adalah sekolah, kenapa tidak ada pagar di sekelilingnya, seperti yang ada di sekolahnya? kalau sekolahnya seperti ini, tentulah siswa-siswanya dengan sangat mudah keluar-masuk sekolah tanpa permisi, bisa sejam datang dan sejam kemudian hilang. Dari kejauhan kemudian tampak seorang siswa yang melambaikan tangan dan mengepalkan tangannya seraya menepuk-nepuk dadanya, Pak Sodrun memahaminya sebagai jawaban bahwa sebenarnya pagar sekolah mereka hanya ada dalam hati mereka masing-masing. Begitulah mereka memagari sekolah ini dengan pagar hati, bukan dinding beton berukuran tinggi.

D. BELAJAR KAPANPUN DAN DI MANAPUN

Pak Sodrun terbelalak bukan main ketika mulai melihat aktivitas siswa yang sedang belajar di sekolah itu, mereka belajar di mana-mana. Di kelas, di taman, di bawah pohon, di lapangan, di dekat pancuran air, di kantin, di mana-mana mereka semua belajar dengan riang. Bahkan di kelas-kelas terdengar suara gemuruh, sesekali tepukan tangan, teriakan kegembiraan, bahkan suara ledakan-ledakan sebagai akibat dari percobaan-percobaan ilmiah yang mereka lakukan.

E. BELAJAR SEPERTI MELEDAKKAN PETASAN DI KEPALA SISWA

Mereka tampak sangat bersemangat, mereka tampak sangat menikmati pembelajarannya. Mungkin ini yang dinamakan pembelajaran dengan metode kuantum yang terkenal dengan istilah TANDUR-nya, yaitu dimulai dari Tanamkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan (De Porter: 2001)

Pak Sodrun kemudian melongok dari jendela kelas, mencoba mengintip apa yang terjadi di dalam kelas. Dilihatnya seorang guru sedang menerapkan pembelajaran kuantum dengan teknik pohon konsep, Pak Sodrun mengurutkan langkah-langkah yang mereka lakukan sebagai berikut:

1. Mula-mula siswa diminta untuk membentuk kelompok

2. Kemudian siswa menirukan bentuk pohon dengan memanfaatkan jumlah kelompok

3. Siswa mengidentifikasikan nama pohon berdasarkan materi yang dipelajari, misal pohon Asia, Amerika, Afrika, dan sebagainya.

4. Siswa menerima bendel buah konsep

5. Siswa memasukkan buah konsep ke batang pohon.

6. Siswa mengecek ketepatan buah konsep dengan batangnya.

7. Siswa menguatkan nama pohon konsep.

8. Siswa mempraktikkan isi buah konsep.

9. Siswa memetik buah konsep dari pohon konsep kemudian dikocok ulang dan diberikan ke siswa lagi.

10. Siswa mengecek ketepatan sekali lagi.

11. Siswa menguatkan konsep.

12. Dan terakhir siswa merayakan hasil pekerjaan mereka dengan bernyanyi. (Suyatno, 2009:43)

Pak Sodrun semakin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, seorang guru mampu membuat pembelajaran itu seperti meledakkan sebuah petasan di kepala siswa.

F. KESABARAN SEORANG GURU ITU TIDAK PERNAH ADA BATASNYA

Seseorang menepuk pundak Pak Sodrun, “Bapak... kenapa hanya berdiri di balik jendela? Tidakkah lebih baik bila Bapak masuk ke dalam dan menemukan apa yang Bapak cari?” ucap lelaki yang mengagetkan Pak Sodrun tadi.

Kemudian Pak Sodrun menyalaminya, “Oh tidak terima kasih, Saya hanya kebetulan lewat saja.”

Dengan senyum ramah, lelaki tadi kembali bertanya, “Tapi Kenapa wajah Bapak terlihat murung dan sedih?”

“Saya sedih karena sepertinya hanya Sayalah guru yang tidak pernah dihargai murid-muridnya. Karena itulah saya sering marah dan sedih.”

“Mari Pak Saya traktir Bapak minum kopi di kantin, kita akan bicara banyak di sana!” lelaki tadi mengajak Pak Sodrun ke kantin dan berbicara tentang banyak hal, salah satu diantaranya adalah bagaimana seorang guru dalam melestarikan kesabarannya. Bahwa sabar itu sebenarnya tidak pernah ada batasnya, bila orang lain mengatakan bila dirinya sudah sampai pada batas kesabaran, maka sebenarnya orang itu belumlah dapat dikatakan sabar.

Dalam menghadapi siswa dengan berbagai macam kenakalannya juga dibutuhkan kesabaran dari guru, sesungguhnya ucapan guru merupakan do’a bagi anak didiknya. Jangan pernah lelah mendo’akan kebaikan bagi anak-anak didik. Jika berkat do’a guru, anak-anak bisa tumbuh dengan baik dan berhasil, tentu guru juga akan ikut merasakan bahagia. Namun sebaliknya, jika anak itu nakal, kemudian guru mendo’akan kejelekan bagi mereka sehingga anak itu benar-benar menjadi nakal dan tidak bisa diperbaiki lagi sifatnya, sesungguhnya guru telah mengutuk mereka. Berarti, secara tidak langsung guru memohon keburukan bagi mereka. Seperti yang dikatakan Jabir Ibnu Abdullah r.a. (Asfandiyar, 2009:95) bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Janganlah kalian mendo’akan kebinasaan terhadap diri kalian; janganlah kalian mendo’akan kebinasaan terhadap anak-anak kalian; janganlah kalian mendo’akan kebinasaan terhadap pelayan kalian, dan jangan pula kalian mendo’akan kemusnahan terhadap harta benda kalian agar jangan sampai kalian menjumpai suatu saat dari Allah yang di dalamnya semua permintaan diberi, kemudian (doa) kalian diperkenankan.” (HR Muslim)

Sadarlah kemudian Pak Sodrun bahwa lelaki yang sedang berbicara dengannya adalah seorang guru agama. Setelah menghabiskan kopinya, kemudian Pak Sodrun pamit untuk melanjutkan acara keliling-keliling sekolahnya.

G. DUNIA ANAK ADALAH DUNIA BERMAIN, JANGAN DEWASAKAN MEREKA SEBELUM WAKTUNYA!

Melihat anak-anak belajar sambil bermain seperti itu, khawatirlah Pak Sodrun kalau-kalau nantinya anak-anak di sekolah itu kelewat batas dan kegiatan yang dilakukan hanya menjadi aktivitas bermain saja. Tapi seorang tukang kebun yang tanpa sengaja mendengar gumam pak Sodrun dengan senyum ramah memberikan pengertian bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain, berbeda dengan dunia orang dewasa, jadi apapun yang dilakukan oleh anak-anak akan terasa sangat berkesan bila dikemas dengan sesuatu yang berbau permainan. Hal-hal tersebut untuk menyalurkan kebutuhan psikomotorik anak yang sedang tumbuh aktif pada masa-masa seperti itu. Maka tugas seorang guru adalah mengawasi proses bermain dan belajar mereka agar satu sama lain tetap bersinergi.

Mungkin karena itu juga, sehingga guru-guru yang ada di sini mayoritas berusia muda, karena jarak usia antara guru dan murid yang ada di sini tidak diperkenankan lebih dari 15 tahun. “Lalu bagaimana dengan guru-guru yang jarak usia dengan muridnya lebih dari 15 tahun? Usia seseorang kan selalu bertambah?” tanya Pak Sodrun penasaran.

“Mereka akan mulai alih tugas menjadi guru di jenjang yang lebih tinggi atau berhak atas jabatan yang lebih tinggi seperti kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, dan lain-lain. Jadi kompetisi untuk memperoleh jabatan di sini benar-benar dilakukan secara sehat berdasarkan kompetensi dan pengalaman bukan karena uang dan kekuasaan.” Jawab tukang kebun dengan lugas.

Usia guru yang tidak terlalu terpaut jauh dari siswanya akan memudahkan mereka dalam memperlakukan anak sesuai dengan usianya. Anak adalah tetap anak-anak, bukan orang dewasa ukuran mini. Mereka juga memiliki dunia tersendiri yang khas dan harus dilihat dengan kacamata anak-anak. Untuk itu, menghadapi mereka dibutuhkan kesabaran, pengertian, dan toleransi yang mendalam. (Asfandiyar, 2009:74)

Jadi, jika Saya analogikan sebagai buah mangga, maka mangga yang dipaksa masak sebelum waktunya dengan penggunaan obat-obatan pemercepat proses pemasakan hasilnya juga tidak baik, sebab buah seperti itu biasanya akan cepat pula proses pembusukannya.

“Luar biasa, bahkan seorang tukang kebun saja bisa menjelaskan hal-hal seperti itu.” Gumam Pak Sodrun takjub.

H. KELAS ADALAH RUANG LABORATORIUM TERINDAH

Pak Sodrun kemudian bertanya kepada tukang kebun tentang keberadaan ruang Laboratorium yang biasanya menyimpan segala media, serta alat bantu pembelajaran. Tukang kebun tadi hanya menjawab: “Tidak ada ruang laboratorium di sekolah ini, karena pada dasarnya segala sesuatu yang diperlukan di dalam laboratorium sudah ada di setiap kelas”.

Pak Sodrun semakin tidak percaya, dia berlari kencang ke salah satu kelas dan mengintip keadaan di dalamnya, terlihat dinding kelas yang di cat warna-warni bernuansa cerah ceria, masing-masing kelas mengusung tema yang berbeda-beda. Tentulah dapat ditebak bahwa pengelompokan siswa di masing-masing kelas adalah berdasarkan kesamaan karakteristik dan kecerdasan siswa, jadi ada kelas yang mengusung tema “Back to the nature” dimana hiasan-hiasan yang digunakan di dalamnya menggunakan bahan-bahan alami produk alam. Pastilah penghuninya adalah siswa-siswa yang memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi. Ada juga kelas yang dihias dan diatur sedemikian rupa sehingga meja-mejanya dibuat melingkar menyerupai meja bar yang biasa ada di kafe-kafe, dan di tengah-tengah kelas ada sebuah panggung, tempat siswa mendemonstrasikan pekerjaan dan keahliannya. Tentulah ini kelas dengan siswa-siswa yang memiliki kecerdasan musik dan cita rasa seni yang tinggi.

Kemudian Pak Sodrun tertarik di salah satu kelas dengan dinding-dindingnya yang dipenuhi dengan gambar-bambar tokoh paling berpengaruh di dunia, tidak ketinggalan juga pahlawan-pahlawan nasional Indonesia juga ikut nampang di salah satu dindingnya. Di bagian depan, gambar presiden dan wakil presiden terlihat mengapit replika burung garuda, bagian ini hampir sama dengan apa yang sudah ada di kelas Pak Sodrun, bedanya hanya senyum presiden dan wakil presiden yang terlihat lebih lebar dan lebih lepas dari gambar yang ada di kelas Pak Sodrun. Sedangkan bagian dinding yang lain dihabiskan sebagai tempat menggantung kumpulan portofolio hasil pekerjaan siswa.

Seorang guru yang masih muda tampak melempar senyum ketika mengetahui Pak Sodrun sedang memperhatikan dirinya. Pak Sodrun pun tak mampu beranjak terpukau, ketika mengetahui di sekolah ini seorang guru tidak pernah lagi menggunakan kalimat “Baiklah anak-anak, silahkan di buka buku pelajarannya!” tetapi “Baiklah anak-anak silahkan dibuka netbooknya!”Setiap siswa di sekolah ini memang tidak lagi menggunakan buku-buku pelajaran, karena materi pembelajaran sudah disiapkan dalam bentuk buku elektronik yang dapat diunduh kapanpun dan dimanapun melalui fasilitas internet. Setiap netbook di sekolah ini telah terhubung secara on-line sehingga memungkinkan siswa untuk bisa berkomunikasi dengan setiap orang yang ada di sekolah ini.

Tampak di kelas ini hanya ada beberapa siswa dan seorang guru saja, “dimana siswa-siswa yang lain?” kata Pak Sodrun. Kemudian guru muda tadi menghampiri layar besar seukuran papan tulis yang ada di muka kelas, layar tersebut menggunakan sistem touch screen sehingga untuk mengoperasikannya hanya perlu disentuh saja. Tak ada lagi spidol boardmaker, tak ada lagi kapur tulis.

Dalam sekali sentuh, layar tadi otomatis berubah membagi diri menjadi beberapa bagian, tampak jelas di sana gambar beberapa siswa yang terhubung melalui web cam. “Inilah siswa-siswa lain yang saat ini sedang berhalangan hadir, mereka tetap mengikuti pelajaran, dan mereka juga tetap dapat berinteraksi sebagaimana siswa-siswa lain yang berada di kelas”. Pak Sodrun hanya bisa menggelengkan kepala.

I. MENGEMBANGKAN YANG ADA, MENGUSAHAKAN YANG BELUM ADA

Pak Sodrun juga berkesempatan bertemu dengan orang yang memimpin sekolah ini, ditanyakannya rahasia dibalik kepemimpinan sekolah yang baru kali ini ditemuinya itu. Kepala sekolah hanya tersenyum simpul, dikatakannya bahwa semua itu kembali pada diri setiap individu masing-masing, setiap orang memiliki peranan tersendiri yang semuanya harus berlandaskan ketulusan hati. Apa yang sudah ada haruslah dapat dikembangkan, sedangkan apa yang belum ada haruslah menjadi prioritas untuk diadakan di masa yang akan datang.

Pak Sodrun juga menanyakan, bagaimana mungkin seorang guru bisa menyiapkan segala sesuatunya hingga sedetail ini? Sesempurna ini? Kemudian kepala sekolah membawanya ke ruang kerja. “Masing-masing guru di sini tidak bekerja sendirian, mereka dibantu oleh beberapa ahli yang terhimpun dalam beberapa departemen yang menangani bagian-bagian tertentu seperti bagian pembuatan media, bagian penyusunan materi pembelajaran, bagian penelitian tindakan kelas, dan lain-lain yang semuanya bekerja layaknya sebuah konsultan pendidikan. Sedangkan tugas guru adalah sebagai penentu metode atau teknik apa yang tepat untuk disajikan kepada siswa berdasarkan karakteristik kelas. Selain itu juga untuk menentukan media yang tepat untuk mengoptimalkan perilaku belajar yang dimiliki masing-masing siswa. Setiap orang memunculkan perilaku belajar yang berbeda, keunikan perilaku belajar ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik yang menentukan perilaku belajar, seperti: gaya belajar (visual vs auditif), gaya kognitif (field dependent vs field independent), bakat, minat, tingkat kecerdasan, kematangan intelektual, dan lainnya yang bisa diacukan pada karakteristik individual siswa. (Degeng, 2008:13)

Kepala sekolah juga menjelaskan bahwa tidak semua pembelajaran di sini menganut aliran konstruktivistik, pada kelas-kelas tertentu yang mungkin memang karakteristik siswanya tidak cocok dengan pembelajaran model konstruktivistik maka digunakanlah metode konvensional yang tentunya dengan sedikit pengembangan. Intinya, apapun model pembelajarannya selama semua itu membawa kemajuan dan manfaat positif bagi siswa maka semuanya akan diterapkan.

Pak Sodrun berkeringat dingin, dia merasa tidak pantas bila berada di sini, banyak hal yang harus dibenahi dalam dirinya sebagai seorang guru, Pak Sodrun mengundurkan diri dan segera mencari jalan pulang, kembali ke dunianya, sekolahnya, dan siswa-siswa yang telah menunggu kreasinya.

Bunyi bel panjang membangunkan Pak Sodrun dari mimpinya, Pak Sodrun segera mengakhiri pembelajaran hari itu dan sesegera mungkin menyusun rencana untuk pembelajaran esok hari

J. KOMITMEN DALAM MENYIKAPI PERUBAHAN

Pak Sodrun mulai menyadari bahwa apa yang dia pelajari dari ayahnya saja tidak cukup menjadi bekal bagi profesinya sebagai seorang guru. Perubahan zaman juga mempengaruhi perubahan paradigma baru dalam pendidikan. Itulah yang saat ini sedang dipikirkan Pak Sodrun, yaitu tentang perubahan.

Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tidak bisa lari menjauh dari perubahan—karena semua di sekeliling kita juga sama-sama bergerak. Sesuatu yang baru kita lalui misalnya, sedetik kemudian akan menjadi masa yang telah lewat. Namun demikian, meskipun perubahan merupakan kepastian, tapi kita harus tetap berpegang teguh pada komitmen dalam menyikapi perubahan. (Mudhi’uddin, 2009:102)

Pak Sodrun mengambil kapur dan menuliskan sebuah kalimat besar-besar di dinding kelas; MANUSIA BARU TELAH LAHIR, SEMANGAT BARU TELAH TERUKIR. Seluruh siswa memandang heran, berharap sesuatu yang buruk tidak menimpa gurunya itu.

K. KEPUSTAKAAN

Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif? Bandung: Dar! Mizan.

Degeng, I Nyoman Sudana. 2008. Media Pembelajaran: Menuju Pribadi Unggul Lewat Perbaikan Kualitas Belajar Mengajar. Surabaya: UNIPA University Press.

Tidak ada komentar: