Sabtu, 16 Mei 2009

ONO REGO ONO RUPO

*r.a.hartyanto

Seringkali muncul pertikaian antara masyarakat kaya dan miskin, dan ketika ini terjadi biasanya saya ikut membela yang miskin karena hegemoni masyarakat bahwa kaum miskin adalah minoritas, kebetulan dalam memandang suatu permasalahan saya suka membela pihak minoritas. Tetapi saat ini sepertinya kaum miskin bukan lagi kaum minoritas di negara kita. Sebaliknya, kaum miskin telah menjadi golongan mayoritas, jadi perihal menyikapi pendidikan yang semakin mahal, maka kali ini saya mencoba berada di pihak masyarakat kaya.

Banyak sekali demo yang dilakukan untuk menuntut pendidikan murah, bahkan tak jarang yang berdemo menuntut pendidikan murahan (tidak mau sekolah tetapi ingin punya ijazah). Media massa juga menurut saya terlalu berlebihan ketika mengangkat topik pelajar yang putus sekolah karena masalah perekonomian, hal seperti itu justru hanya akan semakin menusuk perasaan kaum miskin dan tidak mampu, kenapa tidak lebih baik mengangkat kisah pelajar miskin yang akhirnya menjadi sukses karena punya keinginan, motivasi yang tinggi serta usaha yang keras untuk sekolah. Bukankah itu dapat menjadi motivator serta inspirator bagi masyarakat lain yang perekonomiannya sulit namun ingin tetap sekolah?

Perihal tuntutan pendidikan murah.

Pendidikan itu bukan barang dagangan, jadi tidaklah dibenarkan jika kita ingin mendapatkan hasil besar dengan pengeluaran kecil untuk sebuah pendidikan. Pendidikan berkualitas pasti ditunjang dengan fasilitas, fasilitas itulah yang sifatnya tidak cuma-cuma, seperti pepatah Jawa: Ono’ Rego Ono’ Rupo, jadi ada uang ada pilihan, jika kita menganggarkan dana besar untuk sebuah pendidikan maka ada banyak pilihan pendidikan berkualitas.

Pertanyaannya adalah bagaimana masyarakat miskin bisa menganggarkan pengeluaran yang besar untuk pendidikan, sedang untuk hidup saja masih susah? Miskin memang takdir, tetapi Tuhan menentukan takdir umatnya berdasarkan amal perbuatannya sendiri. Orang bisa jadi kaya tidak secara tiba-tiba seperti jatuh dari langit, tetapi penuh dengan usaha dan do’a, sehingga untuk mendapatkan kekayaannya itu mereka dituntut untuk pintar, pintar dalam pendidikan juga pintar dalam memanfaatkan setiap peluang.

Tidak perlu kita mengeluh dan selalu bertanya kenapa pendidikan semakin mahal? Tetapi tanyakanlah kepada diri sendiri mengapa kita tidak bisa memenuhi kebutuhan pendidikan yang semakin mahal?

Pada dasarnya kaya miskin adalah sama, yang membedakan adalah usaha dan do’a, perkara biaya pasti bisa diraih melalui dua hal tadi (usaha dan do’a). Apalagi bantuan pemerintah terhadap pendidikan untuk masyarakat tidak mampu sampai saat ini tidak pernah putus, meski pada pelaksanaannya di lapangan kurang efektif karena banyaknya oknum (yang saya sebut merekalah sebenarnya yang tidak berpendidikan) dari dinas pendidikan yang menyunat dana bantuan pemerintah.

Jadi, tidak perlu lagi ada kecemburuan sosial ketika ada pelajar dari kalangan orang kaya yang bisa berprestasi tinggi karena kepintarannya sebab hal itu memang wajar, toh kesempatan yang sama untuk menjadi pintar dan berprestasi juga dimiliki pelajar dari kalangan orang miskin. Jika ada orang miskin yang pintar dan berprestasi, maka hal itu menjadi lebih luar biasa lagi dan amat sangat perlu untuk dibanggakan.....

Selamatkan pendidikan dari kepunahan...

Tidak ada komentar: