Kamis, 20 Maret 2008

Lemahnya Konflik Kumpulan Cerpen Kompas 2003

Lemahnya Konflik Serta Feminisme

Dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2003 ( Waktu Nayla )

Oleh : R.A. Hartyanto


  1. Pengantar

Penilaian bahwa konflik dalam cerpen Indonesia kurang optimal memang sudah lama diungkapkan banyak pengamat, terutama pada cerpen-cerpen mutakhir. Kompas sebagai salah satu barometer perkembangan karya sastra di tanah air Indonesia pun juga tak luput dari gejala tersebut diatas.

Banyak karya cerpen yang terpilih dalam kumpulan cerpen pilihan kompas 2003 ini yang sengaja atau tidak, sepertinya menghindar dan enggan untuk menggarap konflik. Cerpen yang manggarap konflik perwatakannya lemah. Sebaliknya, kalau perwatakannya kuat, konfliknya lemah.

Kelemahan konflik disini disebabkan karena. Pertama, pengarang manjauhkan atau menghilangkan peran antagonis yang biasanya menjadi sumber konflik. Kedua, tokoh yang menjadi sumber konflik dimatikan, dihadirkan sebagai roh atau dimayakan. Ketiga, konflik dilukiskan sebagai masalah yang terjadi pada masa lalu, sementara waktu kini dalam konteks ketika cerita terjadi diisi dengan rekonsiliasi atau narasi tokoh-tokoh cerita mencari solusi terhadap persoalan yang menjadi sumber konflik.

  1. Feminisme sebagai suatu pendekatan

Pendekatan Feminis dikemukakan oleh Hawthorn, pendekatan ini didasari oleh pemikiran kesetaraan gender. Beberapa yang dikemukakan dalam pendekatan ini ialah pandangannya akan dominasi pria dalam penulisan sastra termasuk tanggapan pembacanya. (M. Najid, 2003 : 51).

Sesuai dengan istilah “Perempuan feminim” atau pula “Wanita feminim”, maka tentunya pendekatan ini ditinjau dari sudut pandang kewanitaan, sejauh mana pengaruh suatu karya terhadap kreatifitas dan kepengarangan perempuan, atau juga sejauh mana eksplorasi yang diberlakukan oleh dan kepada perempuan.

Dengan beranalogi atas tiga wilayah kajian sosiologis yang dikemukakan oleh Teew dalam Najid 2003, dapat dirumuskan ada tiga hal utama perbincangan feminisme dalam sastra, yaitu feminisme kepengarangan, feminisme dalam karya sastra dan feminisme pembaca.

Dalam hal ini, yang lebih banyak digunakan adalah feminisme kepengarangan.

Aspek kepengarangan yang berkait erat dengan feminisme mengarah pada optimalisasi peran pengarang wanita termasuk dari sisi jumlah ataupun kualitas karyanya.selain hal itu juga keragaman bentuk ekspresi dari seniman-seniman wanita.

  1. Pelemahan Konflik dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2003 (Waktu Nayla)

Cerpen “Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh, Jl Kembang Desa, Jl Kembang Api” karya Kuntowijoyo merupakan salah satu contoh karya yang konfliknya lemah karena tokoh antagonisnya dihilangkan dan dimayakan. Cerpen ini bercerita tentang keresahan warga sebuah kompleks perumnas dalam menghadapi gangguan jin yang diyakini bersarang di sebuah rumah yang tidak dihuni pemiliknya sejak berangkat haji. Yang menjadi sumber konflik pada mulanya adalah si pemilik rumah namun kemudian sang narator menghilangkannya dan mengganti sumber konflik dengan Jin. Dalam hal ini, jin adalah makhluk maya, jadi sumber konflik pada akhirnya dimayakan.

Selain cerpen Kuntowijoyo, cerpen “Rumah Makam” karya Putu Fajar Arcana dan cerpen “Batas” karya Helen Yahya juga hampir memiliki kelemahan yang sama dalam konfliknya. Ketiganya sama-sama tampil dengan latar belakang etnik dan cara-cara mereka menyelesaikan persoalan sosial.

“Rumah Makam” menceritakan tentang kegemparan masyarakat sebab ada warga yang menguburkan mayat orang tuanya di belakang rumah. Hal ini disebabkan karena ayah almarhum dikucilkan atas nama adat dan dilarang menggunakan kuburan masyarakat. Sekali lagi yang menjadi sumber konflik dimatikan.

Cerpen “Batas” juga menceritakan tentang terganggunya hubungan dua dusun penambang emas akibat hasutan seorang oknum. Sumber konflik dalam cerita ini adalah seorang warga yang mengganggu istri orang tetapi menyiarkan isu lain untuk mengalihkan perhatian masyarakat pada akhir cerita, Pidin (tokoh utama) yang seharusnya menghadiri rapat rekonsiliasi kedua dusun, justru tidak datang. Orang lain pun khawatir, jangan-jangan Pidin yang sebenarnya mengganggu istri orang orang yang ditinggal rapat oleh suaminya. Absennya tokoh Pidin dalam rapat untuk membahas masalah yang dia isukan terasa signifikan dalam kaitannya dengan struktur naratif. Hal itu membuat narator memiliki kesempatan untuk menangani konflik yang sudah dibangun menjadi putus di tengah jalan.

Tokoh antagonis yang dimayakan sehingga membuat kurang optimalnya proses penciptaan konflik terjadi juga dalam cerpen “Kacapiring” karya Danarto, “Para Ta’ziah” karya Ratna Indraswari Ibrahim dan “Kembalinya Pangeran Kelelawar” karya Bre Redana. Dalam cerita ini, tokoh antagonis hanya dihadirkan sebagai roh atau muncul dalam angan-angan saja.

Konflik dalam “Kacapiring” dan “Para Ta’ziah” merupakan masa lalu dalam cerita karena dilukiskan sebagai bagian dari flash back. Masa kini cerita diisi dengan upaya pendamaian antara tokoh yang salah satunya sudah dimatikan dan ditampilkan sebagai makhluk yang maya (roh). Karena tokoh dihilangan dan yang ditekankan adalah tentang pendamaian permasalahan yang diangkat, maka pada kedua cerpen ini sangat sedikit ruang untuk narator menggarap konflik.

Tokoh Pangeran Kelelawar dalam cerpen “Kembalinya Pangeran Kelelawar” karya Bre Redana sejak awal memang ditampilkan sebagai tokoh maya. Kemayaan Pangeran Kelelawar menjadikan hubungannya dengan tokoh Wanita sebagai suatu misteri. Salah satunya ialah hubungan tokoh Wanita yang memiliki pengalaman seksual yang luar biasa dengan tokoh Pangeran Kelelawar.

  1. Feminisme dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2003 (Waktu Nayla)

Beberapa cerpen dalan kumpulan cerpen ini menampilkan wanita sebagai tokoh utama, seperti “Waktu Nayla” karya Djenar Maesa Ayu, “Perempuan Semua Orang” karya Teguh Winarsho AS, “Mata Sunyi Perempuan Takroni” karya Triyanto Triwikromo, “Sinar Mata Ibu” karya Harry Effendi Thahar, dan “Ode untuk sebuah KTP” karya Martin Aleida.

Nayla dalam cerpen “Waktu Nayla” adalah sosok wanita metro kelas atas yang cemas menghadapi kemaian sejak diberitahukan dokter bahwa dia menderita kanker ovarium. Tema cerita ini biasa saja, tetapi pengarang mampu menggarapnya dengan focus, sudut pandang, dan daya ekspresi yang kuat. Seperti pada tulisan-tulisan Djenar yang lain, dia berusaha untuk mengeksplorasi bagian pemberontakan perempuan, seperti dalam penggalan tulisannya berikut ;

Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar. Ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin mengatakan ia senang bercinta dengan posisi dari belakang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin berhenti minum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda dan beruang masing-masing satu pasang.


Empat cerpen dengan tokoh utama wanita lainnya ditulis oleh pengarang laki-laki. Kecuali “Sinar Mata Ibu” yang melukiskan tokoh wanita yang cerewet, cerpen lainnya mengungkapkan tokoh wanita sebagai makhluk sosial yang tidak berbeda dengan laki-laki. Cerpen “Ode untuk KTP” menggunakan wanita untuk menyoroti kesewenangan suatu rezim terhadap orang yang dituduh terlibat PKI. Dalam cerpen “Mata Sunyi Perempuan Takroni”, tokoh wanita dijadikan sindiran atas diskriminasi terhadap wanita dan pendatang di Arab Saudi. Takroni adalah sebutan terhadap warga imigran dari Afrika yang sulit kembali ke negerinya tetapi tidak mungkin diterima menjadi warga Arab Saudi. Beitupula cerpen “Perempuan Semua Orang”, mengisahkan tragedi wanita etnik Cina yang diperkosa dan dibunuh. Dalam suatu penyerangan, Zhao Mai Ling, tokoh wanita cerpen “Perempuan Semua Orang” diperkosa dan dibunuh sementara ibu-bapanya dibunuh dengan sadis.

Seperti halnya tokoh wanita dalam cerpen “Ode untuk Sebuah KTP” dan cerpen “ Mata Sunyi Perempuan Takroni”, dalam cerpen “Perempuan Semua Orang “ ini pun keberadaan wanita sngat menyentuh saat diungkapkan lewat penderitaan wanita. Cerpen-cerpen ini menguatkan kesan bahwa wanita adalah simbol penderitaan. Seperti cuplikan cerita berikut ;

Bayangan itu begitu kental. Membuat ia kian gemetar menggigil ketakutan. Sekian detik kakinya terpahat di lantai tak bisa bergerak. Wajahnya memucat bagai tak teraliri darah. Ia sangat tersiksa. Ia ingin berontak, berteriak, namun tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Tenggorokannya seperti tercekik. Ia ingin menangis, namun air matanya enggan tumpah.


Cerpen-cerpen tentang wanita tertindas akan disambut baik oleh feminis sebagai alasan untuk melakukan perlawanan guna menghentikan penindasan terhadap wanita seperti itu.

  1. Penutup

Dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas kali ini masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing tergantung darimana cerpen-cerpen tersebut ditinjau atau strategi membaca yang diterapkan. Secara umum dapat digarisbawahi bahwa kelemahan yang menonjol dalam cerpen-cerpen ini adalah ketimpangan dalam penggarapan konflik. Persoalannya bukan karena ruang pengembangan cerpen yang sempit tetapi karena pengarang menghindari penggarapan konflik secara optimal. Hal ini terlihat dari proses mematikan, penghilangan serta pemayaan tokoh yang menjadi sumber konflik.

Tidak kalah penting juga, yang perlu digarisbawahi disini ialah semakin merebaknya feminisme dikalangan pengarang, baik itu sebagai akibat dari perkembangan zaman ataupun sebagai era baru bagi kebangkitan hak-hak persaman atas perempuan. Terlihat dari banyaknya cerpen-cerpen yang mengangkat perempuan sebagai objek kreativitas, imajinasi serta emosi sang pengarang.

Terlepas dari itu semua, cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen pilihan ini tetap berharga. Mencerminkan kreativitas cerpenis Indonesia yang terus-menerus dengan perkembangannya. Baik itu dengan cerpen yang menghindari konflik yang suatu saat di masa yang akan datang, hal seperti itu mungkin akan menjadi suatu wajah baru dalam dunia sastra.



DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, MPd., Drs. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo

Kompas 2003, Cerpen Pilihan, 2003. Waktu Nayla. Jakarta : Kompas

Najid M., 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya : University Press


Tidak ada komentar: