Kamis, 20 Maret 2008

EKSISTENSIALISME TOKOH SUDARSO DALAM NASKAH DRAMA
“HANYA SATU KALI” KARYA JOHN GALSWORTHY

& ROBERT MIDLEMANS – SADURAN : SITOR SITUMORANG

Oleh : R.A. Hartyanto


A. Pengantar

Naskah drama satu babak yang berjudul “Hanya Satu Kali” ini menceritakan seorang tahanan kasus pembunuhan, akibat dari perbuatannya itu ialah hukuman mati di tiang gantungan, namun yang menjadi masalah ialah karena jati diri tentang tahanan ini tak seorangpun yang mengetahui, banyak orang yang bertanya-tanya apakah dia anggota keluarga mereka yang telah lama hilang, dan begitu banyak pula surat dari orang-orang yang menanyakan siapa jati diri tahanan itu sebenarnya. Bahkan salah satu stasiun berita menjanjikan hadiah uang bila tahanan itu mau buka bicara tentang siapa dia sebenarnya.

Tahanan itu hanya mengaku bahwa namanya adalah Sudarso, seorang tahanan, seorang pembunuh. Tak banyak yang bisa diperoleh dari mulutnya sebab hingga mendekati waktu eksekusi gantungan, Sudarso tetap berlaku tenang, dengan kesopanannya, serta hormatnya kepada para petinggi penjara. Beberapa saat sebelum waktu eksekusi, Sudarso sempat menerima tamu seorang perempuan muda yang mengaku sedang mencari kakaknya yang telah lama hilang, tepatnya sejak dia berumur delapan tahun. Upaya yang dilakukan perempuan muda itu untuk mengenali kakaknya yakni dengan membacakan sajak-sajak seperti biasanya dulu dia dan kakaknya bacakan. Namun tak sekalipun Sudarso membalas sajak yang diutarakan perempuan itu.

Di sinilah ketegangannya dimana Sudarso harus berada dalam dua pilihan yakni apakah ia harus mengakui bahwa dirinya memang benar adalah kakak yang selama ini dicari-cari ataukah ia harus tetap dengan pendiriannya sebagai Sudarso yang akan mati sebagai bukanlah siapa-siapa, sedangkan di tempat lain keluarganya akan dihantui rasa penasaran akan keberadaannya.

Akhirnya Sudarso hanya mengakui bahwa dirinya mengenali orang yang dicari-cari oleh perempuan itu, dan karena ia merasa terharu atas sakit ibunya maka ia minta perempuan muda itu untuk menyampaikan pada ibunya bahwa putranya yang selama ini dia cari-cari telah meninggal sebagai pahlawan. Begitulah akhirnya Sudarso menghadapi hukuman matinya sebagai Sudarso si pembunuh, bukan sebagai Raden Murtono Ronosisworo.

Dalam hal ini eksistensialisme menjadi salah satu alasan kemantapan Sudarso dalam menentukan pilihan hidupnya. Bahwa keberadaannya menjadi sangat penting dan mampu mempengaruhi jalan hidup orang lain di sekitarnya. Kemantapan itulah yang membawa Sudarso menemui sebuah sikap kepahlawanan yang akan mati hanya satu kali.

B. Eksistensialisme tokoh Sudarso

Mengenai eksistensialisme, seorang Sartre berpendapat bahwa manusia itu mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri sehingga hal yang demikian itu tidak bisa dipertukarkan. Keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan benda-benda lain yang tidak memiliki kesadaran atas keberadaannya sendiri. Bagi manusia, eksistensinya adalah keterbukaan, berbeda dengan benda-benda lain yang keberadaannya sekaligus beserta esensinya. Adapun bagi manusia, eksistensi mendahului esensi.(Fuad Hassan, 2005 : 123)

Dalam drama ini kesadaran atas keberadaannya sendiri pada Sudarso dapat dilihat pada kutipan dialog tokoh lain berikut ini :


KEPALA PENJARA : (menyalakan cerutu baru) Saya tak pernah melihat orang yang begitu tenang, sikapnya bukan lagak melulu, juga bukan kebingunan seperti pada orang hukuman lain, tapi urat saraf besi (dia menggeleng-geleng keheranan). Sungguh menakjubkan.

(hal. 139)


Sikap tenang dan dingin yang ditampakkan Sudarso selama di penjara adalah sebagai salah satu upaya mempertahankan nilai keberadaannya. Bahwa ia tetap mempertahankan komitmennya bahwa dia memang berada di tempat yang benar, apa yang dilakukannya adalah hal yang telah benar jadi tak ada alasan untuk bingung serta menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Kutipan lain adalah sebagai berikut :

ULAMA : Tidak sama sekali. Dan dia pun tak hendak menceritakanya. Dia ingin mati sebagai manusia yang akan tinggal rahasia bagi kita. Kadang-kadang saya pikir, bahwa dia juga merupakan rahasia bagi dirinya sendiri.

KEPALA PENJARA : Oh dia Cuma hendak membela orang lain. Namanya juga pasti bukan Sudarso, itu kami tahu dan kami juga tahu apa yang diceritakannya omong kosong sama sekali. Tapi mengapa ? saya kira saya tahu ia hendak menutupi perbuatannya terhadap keluarga dan kenalannya. Banyak orang yang berbuat seperti dia, tapi belum pernah sampai begini. Apa yang kita tahu ? hanya, bahwa kita menghukum seorang manusia dan kita tidak mengetahui siapa dia sebenarnya, atau darimana asalnya atau hal-hal lain tentang dia sesudah enam bulan.

(hal. 140)


Bagi Sudarso jati dirinya adalah sangat penting untuk dipertahankan sebelum nantinya dia akan berhadapan dengan maut, sebab eksistensi seseorang akan hilang ketika dia mati dan saat itulah eksistensi itu berubah menjadi esensi.

Sartre juga berpendapat mengenai eksistensi sehubungan dengan masalah ketuhanan, yakni bahwa ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia tentang dirinya sebagai eksistensi. (Hassan, 2005 : 127)


ULAMA : Saya tahu ia sama sekali bukan orang alim !

KEPALA PENJARA : Apakah tak ada perasaan keagamaannya barang sedikit ?

ULAMA : Saya kira tidak, Dia mendengar kata-kata saya dengan penuh perhatian , tapi (dia mengangkat bahu). Itu hanya karena dia dapat teman bercakap-cakap.

(hal. 141)


Kutipan diatas telah menunjukkan bagaimana seorang ulama bisa menyimpulkan nilai keagamaan Sudarso yang dari itu pula dapat diketahui bahwa bagi Sudarso Tuhan tidak bisa dimintai tanggung jawab dan tidak bisa dijadikan tempat untuk menggantungkan tanggung jawab. Yang Sudarso tahu bahwa ia siap jika suatu saat nanti ia harus berhadapan dengan Tuhan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya (membunuh orang lain) sebab ia berada pada posisi yang benar.

Bagi Sudarso, ruang dan waktu tidaklah menjadi penghalang bagi seseorang untuk menyadari keberadaannya. Dimanapun dan kapanpun bagi manusia adalah sama, keberadaan dirinya sendiri hanya akan dapat diubah oleh dirinya sendiri.


SUDARSO : (sarkastis) Maksud saya, saya orang hukuman mati, di sini serupa saja dengan di dalam sel. Pintu sana (dia menunjuk) jalan kembali ke sel saja. Di luar jendela itu ada jaga bersenjata jarak tiap-tiap langkah. Tuan sendiri tidak bisa keluar dari pintu besi ke kamar muka(dia menunjuk pintu kamar kiri) kalau tak ada orang yang membuka. Dan saya tahu seperti Tuan juga tahu kemana pintu sana (dia menunjuk dengan jari) perginya.

(hal. 145)


Penolakan juga dilakukan Sudarso tentang kebenaran identitas dirinya yang dilakukannya semata-mata karena tanggung jawabnya atas orang lain (keluarga). Inilah yang kemudian dikatakan oleh Sartre sebagai suatu kecemasan. Hal ini karena ia selalu menghadapi keharusan untuk memilih mekipun tindakan memilih itu juga tidak saja akan melibatkan dirinya sendiri melainkan juga akan menyangkut kemanusiaan pada umumnya. (Hassan, 2005 : 125)

Pada kutipan di bawah ini terlihat bagaimana Sudarso mengungkapkan penolakannya atas identitas dirinya :

GADIS : (diam sebentar dan kemudian dengan sngguh-sungguh memperdengarkan sajak dengan suara tenang) kau tahu kidung malam menutup mukamu Di pipi tempat biasa aku mencium kau Karena itu- (sadar, bahwa Sudarso sama sekali tak acuh dia berhenti dan bertanya ) apa Mas tidak tahu sajak itu ?

SUDARSO : Tidak, tolol kedengarannya, bukan ?

(hal 155)


Dalam membentuk dirinya sendiri, manusia mendapat kesempatan setiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik bagi dirinya. Apapun pilihan yang akan diambil oleh manusia pada akhirnya akan merupakan keputusan yang sebenarnya menyangkut seluruh kemanusiaan. Inilah yang disebut dengan tanggung jawab. Walau bagaimanapu, tanggung jawab yang menjadi beban kita jauh lebih besar dari sekadar tanggung jawab terhadap diri kita sendiri. Tanggung jawab itu juga meliputi tanggung jawab kita terhadap seluruh kemusiaan. Kutipan di bawah ini sebenarnya telah menunjukkan pilihan-pilihan yang diberikan kepada Sudarso pilihan apakah ia akan mengakui dirinya sebagai dirinya yang sesungguhnya dengan konsekuensi keamanan dan keselamatan keluarganya ataukah mengakui dirinya sebagai orang lain dengan konsekuensi kesedihan dan rasa penasaran selama-lamanya bagi keluarga yang akan dia tinggalkan nantinya.


KEPALA PENJARA : (jengkel) Sudarso, dengar sebentar. Kau mesti berpandangan luas. Seandainya kauceritakan namamu dan itu saya siarkan, hal itu akan menimbulkan kesedihan, katakanlah dalam satu keluarga, satu rumah, yaitu rumah kau sendiri. Ini yang kaupikirkan bukan ? kau tidak hendak menyusahkan keluarga, baik tapi pikirkanlah ini ; seandainya kau berbuat demikian kau akan membawa kemalangan dalam satu rumah-tapi juga membawa kelegaan di rumah beratus-ratus orang. Mengerti kau ? apa kau tidak merasa punya tanggung jawab sedikit pun terhadap orang-orang ini ?

(hal 146)


Dan pada akhirnya pilihan-pilihan itu membawa Sudarso dalam suatu keputusan yakni keputusan untuk mempertahankan dirinya sebagai Sudarso si pembunuh yang sekaligus menunjukkan eksistensi diri yang dimilikinya sekalipun ia harus menahan sakit dan perih atas penderitaan yang dialami keluarga atas dirinya. Seperti kutipan di bawah ini, Sudarso berusaha mengambil keputusan yang mutlah diperlukan untuk mengakhiri sebuah penantian.


SUDARSO : Tapi kalau Dik ceritakan padanya, bahwa abangmu bukan pembunuh artinya bukan saya – tentu ini akan menghibur hatinya, kan ?

(Hal. 156)


C. Penutup

Kecemasan-kecemasan yang terjadi dalam diri Sudarso sebenarnya adalah sebagai akibat dari keharusan manusia untuk memilih alternative-alternatif dalam hidupnya. Pilihan itu juga yang membawa Sudarso pada suatu tannggung jawab, tidak hanya tangung jawab kepada diri sendiri namun juga menyangkut orang lain.

Sikap tenang, dingin dan tidak seperti orang bingung adalah merupakan pengungkapan kekukuhannya atas nilai keberadaannya, bahwa dia ada dan memiliki rencana-rencana untuk masa depan hidupnya sekalipun Sudarso tahu bahwa tak lama lagi dirinya akan mati di tiang gantungan dan saat itu pula eksistensinya akan mati dan kemudian menjadi sebuah esensi. Namun yang berhak menentukan sesuatu atas dirinya adalah dirinya sendiri sebagai suatu eksistensi.


PUSTAKA

Hassan, Fuad. 2005. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Pustaka Jaya : Jakarta

1 komentar:

Unknown mengatakan...

salam. sy butuh naskah Hanya Satu Kali ini mas utk keperluan pementasan. apa bisa dibantu? maaf sebelumnya..