NEUROSA DAN KECEMASAN PADA TOKOH “TUAN X”
DALAM NASKAH DRAMA “ABU” KARYA B. SOELARTO
Sebuah Kajian Psikoanalisa
Oleh : R.A. Hartyanto
Pengantar
Psikoanalisa sebagai suatu pendekatan dapat pula digunakan dalam kaitannya dengan sebuah karya sastra. Utamanya dalam usaha memasuki karakter tokoh-tokoh yang terdapat di dalam suatu karya sastra, psikoanalisa menyentuh unsur dasar dari alam pikir manusia. Pendekatan ini berusaha memahami karya sastra sebagai sebuah kreasi yang tidak dapat dilepaskan dari aspek psikologis, terutama pengarang, pembaca, dan yang lain.
Psikoanalisa secara ekstrem melihat teks sebagai halaman kosong tempat subjektivitas pembaca memerikan dirinya. Pembaca menciptakan kembali teks berdasarkan pola-pola yang menjadi karakteristiknya dalam mengadaptasi dunia nyata. Di samping itu, pembaca juga memproyeksikan fantasi-fantasi karakteristiknya pada teks tertentu. Penafsiran pembaca terhadap teks merefleksikan strategi-strategi yang memiliki karakteristik pada teks tertentu. Penafsiran pembaca terhadap teks merefleksikan strategi-strategi yang memiliki karakter dalam kaitannya dengan ketakutan dan harapan pembaca yang lebih dalam (Najid, 2003 : 48)
Karya sastra yang dijadikan bahan kajian adalah sebuah naskah drama yang berjudul “Abu”. Adapun ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut :
Ringkasan cerita :
Tuan X adalah seorang kaya raya yang korup dan culas, pada suatu hari istrinya yang juga memiliki watak tamak dan serong berencana untuk menguasai seluruh kekuasaannya, istrinya menggunakan kelemahan yang dimiliki oleh Tuan X yakni traumanya terhadap janji yang tidak pernah ia tepati terhadap keluarga-keluarga romusya. Sang istri memberi Tuan X sebuah bungkusan berisi Abu yang dalam pikiran Tuan X abu itu adalah abu dari ruh para romusya. Akhirnya dalam pikirannya sendiri Ruh romusya muncul untuk menagih janji. Kesempatan itu digunakan oleh sang Istri untuk memasukkan suaminya itu ke Rumah sakit jiwa, namun ternyata Tuan X mampu meloloskan diri dan mengetahui rencana yang dilakukan oleh istrinya, akhirnya dia membunuh istrinya dan memusnahkan harta laknatnya sebelum dia menghabisi dirinya sendiri dan mengembalikan semuanya menjadi abu.
Neurosa dan kecemasan dalam diri “Tuan X”.
Neurosa dapat diartikan sebagai suatu gangguan kejiwaan yang mempunyai akar psikologis. “Tuan X” dalam naskah drama “Abu” memiliki suatu pengalaman yang buruk di masa lampau. Pengalaman buruk itu berupa suatu perbuatan yang menyebabkan kesengsaraan bagi orang lain.
Adapun perbuatan itu berupa tanggung jawabnya dalam penyediaan beratus orang pekerja paksa (romusya). Adapun kutipannya adalah seperti dialog yang diucapkan oleh “Ruh” sebagai berikut :
Ruh : Ruh tidak bisa dusta
Untuk mengingat tuan, lihatlah gambaran wujud hayatku ini. Ingat tuan ? semasa kekuasaan tentang fasis merajalela menindas bangsa tuan dengan mengaku sebagai “saudara tua”. Dan sebagian besar bangsa tuan yang sudah kelaparan masih dipaksa untuk menjadi “pekerja sukarela” dalam jumlah beribu. Dan tuan berhasil mempersembahkan beratus orang. Termasuk aku, untuk kepentingan sang saudara tua sebagai “romusya”. (hal. 86)
Perbuatan lainnya juga tampak dalam dialog berikut :
Ruh : Ingat ? tatkala tuan hendak memperoleh duwit ganti rugi yang berjuta-juta jumlah, tuan nyatakan janji bahwa kesemuanya adalah untuk kepentingan “Kesejahteraan keluarga romusya”. Untuk memberikan tunjangan social pada sisa keluarga kami yang masih ada. Memberi beasiswa pada anak keturunan kami yang masih tersisa. Dan berbagai dana social lainnya. Mengumpulkan tulang-tulang kami yang tersebar di tanah air dan di rantau. Untuk lalu dikuburkan dengan upacara agama, dengan nisan tugu kenangan segala.
Tuan X : Itu…itu…akan…ya akan kupenuhi pada saatnya. Ya, itu aku ingat dan akan kupenuhi…
Ruh : Dalam janji. (hal. 90)
Perasaan bersalah atas perbuatannya di suatu masa yang telah lampau itulah yang menyebabkan Tuan X mengalami suatu gangguan kejiwaan (Neurosa). Perasaan-perasaan itu semakin menumpuk dan akhirnya menjadi trauma bagi Tuan X sehingga muncul suatu usaha pembelaan diri berupa pelepasan dan pelemparan tanggung jawab. Seperti dialog berikut :
Tuan X : Itu salah dia sendiri …
Ruh ketawa parau
Ruh : Sudah tersurat, bahkan di alam baka, mereka yang celaka akan masih mencoba lemparkan tanggung-jawab diri-pribadi pada orang lain. Tapi tuan, jangan takut. Aku bukan hendak menuntut tanggung jawab. Aku samasekali tidak berhak untuk itu. Kehadiranku cuma untuk mengingatkan ingatanmu. (hal. 87)
Begitulah neurosa yang dialami oleh Tuan X sehingga daya pikirnya mampu menciptakan suatu wujud imajinasi baru tentang ruh yang muncul dan menagih janji dimasa lalunya.
Dalam tataran prilaku batin dan psikisnya penderita neurosa biasa mengalami suatu kecemasan. Kecemasan yang bagi Freud dipandang sebagai libido yang ditransformasikan. Dengan perkataan lain, kecemasan terjadi karena “libido terbendung” akibat represi.(K. Bertens, 1979 : xxxiv)
Kecemasan dalam diri Tuan X nampak pada dialog di bawah ini :
Mendadak Tuan X berubah wajahnya. Melotot matanya menatap lembaran-lembaran uang yang masih dalam genggamannya. Ketakutan menghantui hatinya.
Tuan X : Ganti rugi !?! Ganti rugi romusya celaka. Celaka !
Tuan X melempar lembaran-lembaran uang. Seolah melemparkan barang najis dari genggamannya. Pandangannya terus tertuju pada uang yang berserakan di lantai. Perubahan mendadak nampak pada wajahnya, dari sikap takut menjadi sikap berani.(hal.96)
Dalam suatu kecemasan akhirnya akan muncul apa yang disebut dengan naluri kematian dan naluri kehidupan ini di dukung oleh adanya prinsip “keharusan untuk mengulangi”.
Pada semua makhluk hidup kita melihat kecenderungan untuk kembali kepada keadaan yang lebih dulu, ada pengulangan yang menyangkut pengalaman malang yang senantiasa kembali lagi dengan monotomi yang betul-betul tragis. (K. Bertens, 1979 : xxxi)
Pengulangan seperti ini bagi Tuan X terlihat ketika pada akhirnya sang istri memakai tipu muslihat demi mendapatkan kekayaannya, sang istri menipu Tuan X dalam kecemasannya. Hal ini nyaris sama dengan apa yang dilakukan oleh Tuan X terhadap keluarga para romusya.
Mula-mula naluri kematian terarah kepada dirinya sendiri, namun sesuai dengan tujuan naluri kematian yakni untuk menghancurkan dan menceraikan apa yang sudah bersatu. (K. Bertens, 1979 : xxxii) maka Tuan X sebelumnya juga menghabisi nyawa sang istri yang telah menipunya. Mengenai naluri kematian ini terlihat dalam dialog berikut :
Tuan X : Tapi, pasti mataku belum buta. Selangkah lagi kau kau bergerak, jantungmu yang lancing akan kurobek-robek dengan pelor timah ini
Tuan X bangkit, dengan gerak kasar melangkah sambil menodongkan pistol dengan sorotan mata yang penuh dendam. Nyonya X tidak lagi tahan menghadapinya, ia terus lari ke luar. Tuan X memburu, henti di ambang pintu, terus menembakkan pistol beberapa kali diiringi suara jeritan nyonya X. lalu sepi sesaat, Tuan X menatap kearah kamar tamu, di mana istrinya sudah menggeletak mati. (hal 100)
Dan kemudian naluri kematian yang teararah pada dirinya sendiri seperti kutipan berikut :
Tuan X : kita memang pasangan yang serasi. Cocok, lagi ideal untuk mengisi neraka jahanam. Mari kita angkut seluruh harta terlaknat ini ke kubur kelam. Tunggu sebentar lagi dinda, sebentar lagi. Sebelum kau kususul dengan jalan singkat lewat pelor yang akan kutembuskan ke otakku. Aku akan ringkaskan dulu seluruh hartaku seringkas-ringkasnya dalam bentuk…abu!(hal.101)
Penutup
Perasaan bersalah atas perbuatan-perbuatan terdahulu yang merugikan orang lain menjadi penyebab utama neurosa yang dialami oleh Tuan X, Neurosa ini termasuk juga di dalamnya suatu kecemasan berkepanjangan. Hal inilah yang dijadikan istrinya sebagai senjata untuk menjatuhkan dan menghancurkan keadaan psikologi Tuan X sehingga muncullah apa yang dinamakan dengan naluri kematian oleh tuan X sebagai wujud perlawanan terhadap neurosa yang dideritanya setelah sebelumnya neurosa tersebut mampu menghadirkan tokoh imajinasi (Ruh) sebagai penghubungnya dengan alam ketaksadaran.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud. Gramedia : Jakarta.Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Unesa University Press : Surabaya
Soelarto, B. 1985. Kumpulan Lima Naskah Drama. Gunung Agung : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar