KESAKSIAN DALAM PUISI “PEREMPUAN YANG DIRAJAM MENJELANG MALAM” KARYA GOENAWAN MOHAMAD
Sebuah Kajian Semiotik
oleh : R.A. Hartyanto
A. Pengantar
Bagi seorang pembaca, dalam sebuah karya sastra terdapat banyak ruang kosong yang dapat ditemukan sebagai hasil dari proses resepsi atau pembacaan. Pemahaman serta penilaian yang beragam terhadap suatu karya sastra pada akhirnya juga menjadikan nilai karya sastra itu sendiri melambung. Keberagaman pemahaman serta penilaian hasil apresiasi itu tak lepas dari pemakaian bahasa sebagai media penyampai sebuah teks sastra.
Pengarang, kali pertama, terikat oleh bahasa. Bahasa yang telah memiliki makna itulah yang diolahnya menjadi karya kreatif sehingga makna bahasa dalam teks sastra cenderung berbeda dengan makna di luar teks. Itulah sebabnya, upaya pemahaman terhadap teks sastra juga cenderung beragam. (Najid, 2003 ; 71)
Puisi sebagai salah satu genre sastra juga merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda, oleh karena dalam hal ini semiotic diperlukan untuk mengkaji mengenai tanda-tanda yang terdapat dalam puisi “Perempuan yang dirajam menjelang malam” karya Goenawan Mohamad.
B. Analisis Semiotik pada puisi “Perempuan yang dirajam menjelang malam”
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena social/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotic itu mempelajari system-sistem, aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Pradopo, 2003 : 119).
Tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotic adalah seorang ahli linguistic yaitu Ferdinand de Saussure serta seorang ahli filsafat yaitu Charles Sanders Peirce. Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Peirce menyebutnya semiotic.
Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda, sebagai diadik, maka konsep-konsep Peirce bersisi tiga, sebagai triadic. Diadik Saussurean ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal sedangkan triadic Peirce ditandai oleh dinamisme internal. (Ratna, 2004 : 100).
Mengenai tanda, tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya, jenis-jenis yang utama ialah ikon, indeks, dan symbol.
Seperti yang diungkapkan oleh Pradopo (2003 : 120) mengenai Ikon, indeks dan symbol adalah sebagai berikut :
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dengan petandanya.
Symbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya).
Puisi “perempuan yang dirajam menjelang malam” ini merupakan penggambaran atas kesaksian yang dialami oleh si “aku” terhadap hukuman (rajam) bagi perempuan yang telah melakukan dosa (perzinahan).
Pengakuan dosa (perzinahan) yang dilakukan oleh perempuan itu terlihat dalam kutipan di bawah ini :
Dan di bola mata yang pecah, ia seperti telah berkata,
“Hamba telah berzinah”
Pemakaian kata “hamba” adalah sebagai bentuk ekspresi bahwasanya manusia yang telah melakukan kesalahan dan berdosa nilainya tak lebih dari seorang hamba yang terenggut hak dan kebebasannya. Ketika perempuan yang berzinah dirajam, yang lain telah pulang dan hanya si aku yang tetap tinggal sebab dalam hal ini dialah saksi atas kejadian yang menimpa sang perempuan yang dirajam.
Perempuan yang dirajam menjelang malam, adakah
ia mencari
seorang laki-laki yang menulis sesuatu pada pasir
saksi terakhir
semua ini ?
Yang ada hanya aku :
tangan yang menulis pada sabak hitam
ketakutanku
Keberadaan si aku bukan hanya sebagai saksi saja sebab dia mengenali perempuan yang dirajam :
Perempuan yang dirajam menjelang malam,
Ingatkah kau kepadaku ?
Juga :
Sampai akhirnya kelelawar-kelelawar yang terbang
memekik mengenali jasad itu ;
kelelawar dalam puisi ini merupakan symbol atas manusia-manusia yang hanya diterima dalam kesucian, selalu menjunjung tinggi nilai-nilai serta moral, dan hanya bertahan dalam sebuah kebenaran, seperti halnya kelelawar yang hanya keluar saat malam dan tak pernah keluar dari lingkar murni kegelapan.
Selain kutipan diatas juga ada bait lain yang menunjukkan bahwa si aku mengenali perempuan yang dirajam, yakni ;
Di nanahnya ada namaku,
sesuatu yang ingin ia sembunyikan
seperti kesedihanku.
“ya,” begitulah ia berkata sekali waktu, “Aku hanya
mencintaimu.”
Dalam puisi ini juga terdapat beberapa penggantian arti, dapat dilihat dengan munculnya beberapa kata kiasan pada bait-baitnya lebih-lebih berupa metafora dan metonimi.
Matahari telah memar. Cakrawala
luka bakar
magrib raib, dan gelap seperti lesit,
menghisap sisa darah
yang basah pada langit
seperti kutipan diatas misalnya, kata “memar” merupakan metafora yang berarti lain yakni : mulai bergantinya warna matahari menjadi kemerahan (seperti senja). Kata “luka bakar” juga merupakan metafora yang maknanya tidak jauh berbeda dengan makna kata “memar” diatas.
Selain metafora, makna personifikasi juga terlihat pada kutipan di bawah ini :
Kulihat di pelupuknya darah antri
seperti nira hitam
kata “antri” yang berarti berdiri berderet-deret menunggu giliran dan lazimnya kata ini dikenakan pada manusia pada bait diatas dikenakan pada darah yang merupakan benda mati. Jadi darah yang ada di pelupuk sang perempuan seakan menunggu giliran untuk keluar.
Dosa telah dilenyapkan
Senja telah dibersihkan
Pada kutipan bait diatas, “Senja” sebagai simbol dari “dosa”. Diibaratkan malam adalah metafora dari kesucian dimana kegelapannya akan ternoda oleh sisa-sisa sinar matahari di kala senja, senja inilah yang dimaknai sebagai dosa. Dan kemudian malam menjadi benar-benar gelap dan kesucian benar-benar menjadi murni tanpa noda lagi.
Antara “dosa” dan “senja” diatas menunjukkan homologues (persamaan posisi), pada kedua bait sajak itu terdapat persejajaran arti bahwa dosa si perempuan sebagai akibat dari perzinahannya telah lenyap seiring dengan hukuman (rajam) yang diterimanya, bersama itu pula “senja” yang dalam hal ini merupakan symbol dari dosa juga telah dibersihkan dari langit.
C. Penutup
Kesaksian seorang “aku” dalam puisi ini diungkap sebagai sesuatu yang harus diberikan, sekalipun mungkin bagi manusia tidaklah menjadi masalah ketika seseorang yang berdosa harus di bunuh, sebab hukum harus dipatuhi dan ditegakkan. Namun sebenarnya kebenaran atas kesaksianlah yang harusnya menjadi lebih hakiki daripada hukum yang dibuat oleh manusia sendiri.
Kesejajaran antara “dosa” dan “senja” dapatlah menjadi salah satu indeks bagi “Perempuan yang dirajam menjelang malam” yang mengangkat derita perempuan penuh dosa (perzinahan) dalam usahanya menebus dosa (dengan rajam) untuk mendapatkan kesuciannya kembali (menjelang malam) dan dalam puisi ini kesaksian seorang “aku”lah yang menjadi jalan untuk menyampaikan tema dan amanat dalam puisi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mohamad, Goenawan. 1992. Asmaradana (kumpulan puisi). PT Gramedia Widiasarana Indonesia : Jakarta.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Unesa University Press : Surabaya.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Lampiran
PEREMPUAN YANG DIRAJAM
MENJELANG MALAM
Goenawan Mohamad
Perempuan yang dirajam menjelang malam
memandang ke seberang daratan,
Matahari telah memar. Cakrawala
luka bakar magrib raib, dan gelap seperti lesit,
menghisap sisa darah
yang basah pada langit
Perempuan yang dirajam menjelang malam, adakah
ia mencari
seorang laki-laki yang menulis sesuatu pada pasir
saksi terakhir
semua ini ?
Yang ada hanya aku :
tangan yang menulis
pada sabak hitam
keakutanku
Orang-orang dengan batu di tangan
telah pulang
Dosa telah dilenyapkan
Senja telah dibersihkan
Dan langit telah lapang.
Tapi aku tak bisa pulang.
Tubuh itu juga.
Kulihat di pelupuknya darah antri
seperti nira hitam
Dan di bola mata yang pecah, ia seperti telah berkata,
“Hamba telah berzinah”
Perempuan yang dirajam menjelang malam,
ingatkah kau kepadaku ?
Ia hanya memandang ke seberang dataran
Sampai akhirnya kelelawar-kelelawar yang terbang
memekik
mengenali jasad itu :
Di nanahnya ada namaku,
sesuatu yang ingin ia sembunyikan
seperti kesedihanku.
“Ya” begitulah ia berkata sekali waktu, “Aku hanya
mencintaimu.”
Perempuan yang dirajam menjelang malam
pejamkanlah
pelupukmu.
1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar