Kamis, 20 Maret 2008

Intertekstual "Perempuan Kembang Jepun" dan "Ronggeng Dukuh Paruk"

KEPEREMPUANAN TOKOH MATSUMI DALAM NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG DAN TOKOH SRINTIL DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

(Kajian Intertekstual)

oleh : R.A. Hartyanto


A. Pengantar

Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. (Pradopo, 2003 : 167). Mengenai hubungan kesejarahan ini diperkuat pula oleh pendapat Riffaterre (dalam Pradopo, 2003 : 167) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain.

Dalam menciptakan karya sastra, pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga sebagai reseptor. Dari proses resepsi, pengarang memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri (Sitanggang, 2003:81).

Pada tulisan ini akan dibahas intertekstualitas antara tokoh Matsumi dalam novel Perempuan Kembang Jepun (PKJ) karya Lan Fang dan tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari dari segi keperempuanan. Oleh karena itu, akan sedikit disinggung juga mengenai teori feminis yang berkait dengan hal keperempuanan dimana akan dibahas selanjutnya sebagai dasar untuk melihat fenomena pandangan ”Keperempuanan” menurut Lan Fang sebagai wanita penulis dan Ahmad Tohari sebagai lelaki penulis sehingga memungkinkan munculnya bias gender didalamnya.

Baik tokoh Matsumi dalam PKJ maupun tokoh Srintil dalam RDP sama-sama merupakan tokoh perempuan yang terjebak dalam kekuasaan politik, jeratan hidup, budaya serta tuntutan profesi yang selalu membawa mereka dalam permasalahan-permasalahan yang tak jarang memaksa untuk meneteskan air mata, mengurai senyum, serta membenamkan harga diri dalam suatu kekecewaan. Matsumi dalam PKJ adalah sebagai seorang Geisha, sedangkan Srintil dalam RDP adalah sebagai seorang Ronggeng.


B. Intertekstualitas Sastra

Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi. (Ratna, 2004 : 173)

Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjutnya Riffaterre (dalam Ratna, 2005:222) mendifinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang dipengaruhinya.

Frow (dalam Endraswara, 2003:131), mengemukakan interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut yakni:

1. konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks,

2. teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks,

3. ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu,

4. bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implicit,

5. hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan juga sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu,

6. pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap penghilangan gaya maupun norma-norma sastra,

7. dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan

8. analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan lebih terfokus pada pengaruh.


C. Keperempuanan

Tidak seperti feminisme yang lebih cenderung mengekspos superioritas perempuan dan menghapus inferioritasnya, maka makalah ini membahas perempuan dengan segala keadaannya baik itu yang menjadi superioritas maupun inferioritasnya. Dalam makalah ini diambil beberapa focus pembahasan yang menyangkut diri perempuan, yakni mengenai cinta, seksualitas dan kekuasaan perempuan.

Konsep mengenai cinta menurut Erich Fromm (2007 : 232) ini mungkin dapat mewakili pendangan cinta bagi perempuan. Menurutnya, cinta tidak dapat dipisahkan dengan kebebasan dan kemandirian. Bertolak belakang dengan konsep cinta semu, asumsi dasar dari cinta adalah kebebasan dan kesetaraan. Cinta adalah kekuatan, kemandirian, integritas diri yang dapat berdiri sendiri dan menanggung kesunyian. Asumsi ini mempertahankan kebenaran untuk mencinta dan juga untuk dicintai orang. Cinta merupakan sebuah tindakan spontan, dan spontanitas berarti juga secara harfiah kemampuan untuk bertindak atas keinginannya sendiri.jika kecemasan dan kelemahan diri membuat tidak mungkin untuk individu agar berakar pada dirinya sendiri, dapat dikatakan ia tidak bisa mencintai.

Bachofen dalam Erich Fromm (2007 : 6) mengemukakan hubungannya cinta pada perempuan. Menurut Bachofen, “Di masa mudanya, perempuan lebih dahulu menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap makhluk lain ketimbang laki-laki, dan melampaui batas-batas ego, dan menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk melindungi dan memperbaiki eksistensi orang lain. Perempuan, pada tahap ini merupakan khazanah dari setiap kebudayaan, dari sebuah kebaikan, dari seluruh pemujaan, dari segenap perhatian terhadap kehidupan dan rasa duka cita terhadap kematian”.

Apa yang diutarakan mengenai cinta tersebut, masih sebagian kecil dari sekian banyak hal yang ada pada seorang perempuan. Arti pentingnya keperawanan bagi perempuan misalnya, mengapa ketika pada malam pertama pernikahan dua jenis manusia yang berlainan maka yang akan dipertanyakan adalah mengenai keperawanan bukan keperjakaan. Ini dikarenakan ada hubungan berat sebelah yang telah tercipta secara turun temurun. Seperti yang dikatakan Selden (1996 : 137) bahwa perempuan terikat dalam hubungan berat sebelah denan laki-laki. Laki-laki adalah yang satu, perempuan adalah yang lain.

Jadi keperempuanan dalam hal ini tidak hanya menginterpretasikan bagaimana perempuan melawan, bagaimana perempuan menjadi kuat, tetapi juga bagaimana perempuan memainkan perasaan, bagaimana perempuan meneteskan air mata dan bagaimana perempuan menempatkan diri sesuai dengan apa yang dimiliki dari dalam dirinya yang seutuhnya.


D. Interteks Keperempuanan Tokoh Matsumi dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang dan Tokoh Srintil dalam Novel Rongeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.

Dari sedikit penjelasan mengenai “keperempuan” diatas maka selanjutnya hubungan intertekstualitas ini akan difokuskan dalam beberapa hal, diantaranya :

  1. Cinta

    • Persamaan :

Baik tokoh Matsumi dalam PKJ maupun tokoh Srintil dalam RDP sama-sama memiliki rasa cinta kepada lawan jenis. Tokoh Matsumi misalnya, jatuh cinta pada lelaki bernama Sujono, seorang kuli angkut barang yang telah memiliki istri dan anak, yang kemudian mampu membuat Matsumi mampu mengambil keputusan penting dalam hidupnya yakni memutuskan untuk tidak menjadi seorang geisha.

Kesadaran Matsumi mengenai perasaan cintanya terhadap Sujono dapat dilihat dalam kutipan berikut :


Kusadari…… aku sudah terlibat perasaan dengan Sujono. Sujono membuat dunia berbeda di mataku. Ia memujaku. Ia mencintaiku. Ia ingin memilikiku. Ia begitu menyihirku. Sujono seperti sake. Ia manis. Ia memabukkan. Ia melambungkan. Ia adalah mimpi. (hal. 137)


Perasaan cinta dan kasih sayang yang dimiliki oleh Matsumi ini tidak terlepas dari konsep mengenai cinta yang sebelumnya telah dimiliki oleh Matsumi sebagai seorang perempuan. Dapat dilihat dalam kutipan berikut ;


Bukankah tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain menjadi milik orang yang mencintai kita dan kita cintai ?. (hal. 139)


Perasaan cinta yang mendalam dirasakan juga oleh Srintil dalam RDP, yakni ketika Srintil jatuh cinta pada Rasus, seorang lelaki dari pedukuhan yang sama dengan dirinya, bahkan teman bermain sejak kecil yang pada akhirnya menjadi seorang tentara dan membuat Srintil mabuk asmara. Kisah cinta antara Rasus dan Srintil ini menjadi pembicaraan warga pedukuhan, yang beberapa diantaranya seperti terlihat di bawah ini ;


“Eh dengar! Pernahkah terjadi seorang Ronggeng mabuk kepayang terhadap seorang lelaki?” kata seorang perempuan yang bersama dua temannya sedang mencari kutu di bawah pohon nangka.

“Sepanjang yang kudengar tak ada cerita demikian.” Jawab perempuan kedua. “Yang baku, seorang laki-laki tergila-gila kepada ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki. Dia tidak boleh terikat kepada seorang pun. Lha bagaimana kalau dia sendiri dimabuk cinta demikian ?”.

“Ya Srintil memang aneh. Nah, kalau sudah terjadi demikian maka Nyai Kartareja yang bersalah.”(hal. 115)


Kejadian jatuh cintanya seorang ronggeng kepada seorang pemuda ini dirasa janggal oleh warga pedukuhan, namun besarnya perasaan cinta Srintil terhadap Rasus mampu membuat Srintil mengambil keputusan penting untuk menolak naik pentas.


“Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus, Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas. Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangan.” (hal. 115)


    • Perbedaan :

Yang berbeda dari kedua tokoh ini dalam hal percintaan adalah ketika pada akhirnya Matsumi tidak tahan terhadap prilaku Sujono yang dirasanya semakin enaknya sendiri sehingga pada akhirnya perasaan cinta yang dirasakan Matsumi berangsur pudar dan berubah menjadi rasa benci. Berbeda dengan Srintil yang dengan menghilangnya Rasus dari hidupnya tidak pernah mampu menghapus rasa cinta yang bertahun-tahun tetap disimpan hingga akhir hayat.

  1. Keperawanan

    • Persamaan :

Dalam hal keperawanan, tokoh Matsumi dalam PKJ dan tokoh Srintil dalam RDP sama-sama mengalami proses semacam pelelangan keperawanan yang bagi sorang geisha seperti Matsumi dinamakan mizuage sedangkan bagi seorang ronggeng seperti Srintil dinamakan bukak-klambu. Proses pelelangan keperawanan ini maksudnya adalah dimana keperawanan seorang perempuan akan diakhiri oleh lelaki beruntung yang memenangkan proses pelelangan. Penentuannya adalah dengan menobatkan siapa lelaki yang mampu membayar (menghargai) sang perempuan dengan harga yang paling tinggi adalah sebagai lelaki yang berhak untuk mengakhiri keperawanan sang ronggeng maupun sang geisha.

Berikut kutipan yang menunjukkan proses pelelangan keperawanan yang dialami oleh tokoh Matsumi :


Ketika usiaku mencapai empat belas tahun, aku menjadi Geisha. Sebelumnya aku menjalani mizuage, yaitu proses melelang keperawananku kepada penawar dengan harga tertinggi. Waktu itu, menurut induk semangku, ada tiga orang kaya dan terpandang di Kyoto yang menawariku. Induk semangku membawa aku ke hadapan mereka. Mereka, satu persatu, melihatku dalam keadaan telanjang bulat. Induk semangku melepaskan kimono dan obiku satu persatu, sampai aku polos di hadapan mereka. (hal. 104)


Dan berikut adalah kutipan yang menunjukkan ketika Srintil harus mengalami proses pelelangan keperawanan :


Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (hal. 51)


    • Perbedaan :

Proses pelelangan keperawanan Matsumi diakhiri dengan harga mizuage-nya yang mencapai harga tertinggi sehingga laki-laki yang berani memberi harga tertinggi berhak untuk benar-benar mengakhiri keperawanan Matsumi saat itu.


Dan sungguh mengejutkan ketika mizuage-ku ternyata mencapai harga tertinggi untuk geisha seangkatanku di Gion. Bahkan menurut Yuriko, harga mizuage-ku melampaui harga mizuage-nya. (hal.104)


Sedangkan yang terjadi pada Srintil tidaklah demikian, sebab sesaat sebelum proses bukak-klambu berakhir dengan penawaran tertinggi dari seorang pemuda bernama Dower, ternyata Srintil telah menyerahkan keperawanan yang dianggapnya sangat bernilai itu kepada lelaki yang benar-benar ia cintai, yakni kepada Rasus yang saat itu berada di belakang rumah dalam keadaan gelap dan tak terlihat :


Aku percaya, suasana gelap dapat mengubah nilai yang berlaku pada pribadi-pribadi. Orang berpikir lebih primitive dalam suasana tanpa cahaya. Dan sebuah prilaku primitive memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi akan hadirnya Emak saat itu tak muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang turun tangan mengguruiku dan Srintil. Boleh jadi Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi entahlah, karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh. (hal.76)


Sehingga pemuda bernama Dower yang telah memenangkan sayembara bukak-klambu atas diri Srintil tidak pernah tahu bahwa perempuan yang disayembarakan ternyata telah tidak perawan :


“Kau telah memperoleh hadiah sayembara bukak-klambu. Dua rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau puas bukan ?”

Dower hanya tersenyum. Tercapai sudah keinginannya memperoleh sebutan sebagai pemuda yang mewisuda ronggeng Srintil. Virgin atau tidak virgin ronggeng yang ditidurinya, menjadi naïf Dower. (hal. 77)


  1. Seksualitas

    • Persamaan :

Sebagai seorang Geisha, Matsumi tidak hanya melayani laki-laki untuk mencapai kepuasan dengan kemampuannya memainkan gairah seksual, tetapi lebih daripada itu, ada seni yang dimiliki oleh Matsumi. Seni sebagai seorang Geisha yang perlu bertahun-tahun untuk mempelajari dan menguasainya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :


Setidaknya aku juga perempuan. Aku juga perempuan yang melayani laki-laki untuk mencapai kepuasan tertinggi. Tetapi aku tidak hanya sekadar mengangkang untuk dimasuki puluhan laki-laki dalam sehari. Aku bisa manyanyi, menari, bermain shamisen, memandikan laki-lakiku di ofuro, sampai mereka terbang mengoyak langit. Meretas dalam erangan panjang. (hal. 116)


Sebagai seorang Ronggeng, Srintil juga tidak sekadar menundukkan laki-laki dengan permainan birahinya. Lebih daripada itu, Srintil bisa menari, mengikuti nada calung yang mampu menggetarkan dan membius penontonnya sebelum akhirnya banyak penonton yang akan menginginkannya dan bernafsu untuk menidurinya.


Dan siapapun yang mengikuti perkembangan Srintil sejak awal tidak akan menemukan perubahan-perubahan dalam gaya tariannya meski dia hampir enam tahun menjadi ronggeng. Kecuali malam itu yang terbukti lain. Si buta Sakum justru yang pertama merasakannya. Sakum mendengar suara gesekan kaki Srintil. Semuanya berubah. Srintil seakan menari dalam keadaan marah. Andaikan mata sakum awas, tentulah dia dapat melihat betapa Srintil mengangkat kedua lengannya lebih tinggi hingga tampak putih kulit ketiaknya. Goyang pundaknya lebih berani. Bila sedang pacak gulu mata Srintil tidak terarah pada penonton seperti telah menjadi ciri khasnya. Mata Srintil menantang bintang-bintang. (hal. 191)


    • Perbedaan :

Perbedaan zaman menjadi sangat kentara dalam hal ini dimana Matsumi dalam pelayanannya terhadap birahi laki-laki selalu diukur dengan kekuatan uang, berbeda dengan Srintil yang pada zamannya masyarakat belum sepenuhnya menganggap uang sebagai alat tukar utama untuk menunjukkan kekayaan sehingga dalam beberapa kesempatan, Srintil juga menerima pemberian berupa barang dari lelaki yang ingin menidurinya.


  1. Kekuasaan

    • Persamaan :

Kekuasaan yang ditunjukkan Matsumi sebagai seorang perempuan adalah ketika dia mampu membuat lelaki tunduk dan berlutut hingga mampu menciptakan rasa cemburu bagi lelaki yang ingin memilikinya. Seperti terjadi pada Sujono yang akhirnya merasa cemburu dan memaksa Matsumi untuk meninggalkan kelab hiburan malam tempatnya melayani tamu lelaki :


Kuminta Matsumi meninggalkan Kembang Jepun-Kelab hiburan Hanada-san. Aku ingin Matsumi hanya milikku. Tidak ingin berbagi lagi dengan laki-laki lain. Ia menurutiku. (hal. 184)


Perasaan cemburu juga terjadi pada diri Rasus dalam RDP. Segala yang ada pada diri Srintil telah membuah Rasus rapuh dan jatuh hati hinga yang terjadi adalah ketidakrelaan ketika Srintil harus melayani lelaki lain :


Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul Buntung! Pikirku. Aku bukan hanya cemburu. Bukan pula hanya sakit hati karena aku tidak mungkin memenangkan sayembara akibat kemelaratanku serta usiaku yang baru empat belas tahun. Lebih dari itu, Memang Srintil telah dilahirkan untuk menjadi Ronggeng, perempuan milik semua laki-laki. Tetapi mendengar keperawanan disayembarakan, hatiku panas bukan main. Celakanya lagi, bukak-klambu yang harus dialami oleh Srintil sudah merupakan hukum pasti di Dukuh Paruk. Siapapun tak bisa mengubahnya, apa pula aku yang bernama Rasus. Jadi dengan perasaan perih aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi (hal.51)


    • Perbedaan :

Kekuasaan yang digambarkan oleh Matsumi harus diakhiri dengan kecerdikan Sujono yang mampu benar-benar memilikinya. Berbeda dengan Srintil yang sekalipun begitu besar rasa cemburu yang dimiliki oleh Rasus atas diri Srintil tidak mampu membuat keduanya bersatu seperti pada kutipan dalam RDP di bawah ini :


Sering kusumpahi diriku mengapa aku jadi merasa tersiksa karenanya. Kuajari diriku : kecantikan Srintil bukan hanya milikku, melainkan miliknya. Cambang halus di pipinya yang makin enak dipandang bukan milikku, melainkan miliknya juga. Kalau Srintil tersenyum sambil menari aku dibuatnya gemetar. Tetapi Srintil tersenyum bukan untukku, melainkan untuk semua orang. (Hal. 39)


  1. Pertemuan dengan laki-laki yang lemah

    • Persamaan :

Setelah meninggalkan Sujono yang mengecewakannya, Matsumi akhirnya kembali bertemu dengan lelaki lain yang bernama Takeda, sebagai seorang laki-laki, Takeda mengalami kelemahan pada masalah seksualitasnya :

Takeda bukan pencinta yang mahir. Ia jarang menciumku. Kalaupun mencium, itu hanya sekilas. Padahal aku ingin lebih lama, lebih dalam dan lebih mesra. Aku selalu terengah-engah seperti pelari haus mencari air. Takeda bukan pelari marathon. Ia selalu terlambat mengambl posisi lari dan terlalu cepat berhenti di tengah karena napas yang tersengal, karena gemetar dan tak mampu menahan gejolak yang memuncak. Ia tidak pernah mencapai titik akhir yang sempurna (hal. 272)


Kelemahan dalam diri Takeda juga terlihat dalam kutipan berikut :


“Aku takut tidak bisa memuaskanmu. Aku tidak kuat, katanya saat kami bercinta untuk kedua kalinya. Takeda hanya mengatakan itu satu kali. Sama seperti ia mengatakan ia mencintaiku. (hal. 274)


Hal yang sama juga terjadi pada diri Srintil ketika dia harus menjadi gowok dan ternyata dia harus bertemu dengan Waras sebagai lelaki yang lemah :


Dengan pertimbangan yang dalam Srintil menjawab dengan anggukan kepala. Waras terpesona. Dipandangnya Srintil dengan tatapan mata penuh rasa heran, sungguh-sungguh heran. Melalui anggukan kepala itu sesungguhnya Srintil sedang melakukan upaya kali terakhir. Penjajakan. Tetapi yang terbaca dari wajah Waras adalah sikap memustahilkan ragawi antara dua manusia lelaki dan perempuan, apapun namanya Srintil harus menelan ludah berkali-kali karena harus meyakini keadaan Waras, dia benar-benar hilang dari dunia kelelakian dan Srintil pasti tak sanggup lagi menemukannya. (Hal. 224)


    • Perbedaan :

Dalam pertemuannya dengan lelaki yang lemah, Matsumi dalam PKJ selalu diakhiri dengan persetubuhan :


“Sekejap saja ketika ia mencoba memasukiku, gairahnya membuncah. Buyar…! Usai… (hal 273)


Berbeda dengan Srintil dalam RDP yang tidak pernah terjadi persetubuhan dalam pertemuannya dengan lelaki yang lemah karena hilangnya kelelakian dari Waras (lelaki yang ditemui Srintil) :


Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu dalam keadaan seorang rongeng yang sebenarnya, dengan kerelaan yang hampir mutlak, tanpa sedikitpun menyelipkan kepentingan pribadi di sana. Tetapi penantian itu tawar. Bahkan kosong. Waras hanya berhenti pada bermain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin lama geraknya semakin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi bocah. (hal. 223)


Terhadap lelaki yang lemah tersebut juga Matsumi pada akhirnya merasakan cinta, cinta dari seorang perempuan yang merasa iba atas kelemahan yang dialami oleh lelaki (Takeda), seperti yang diungkapkan sendiri oleh Matsumi dalam kutipan PKJ berikut ini :


“Kalau kali berikutnya persetubuhan itu terjadi. Itu karena aku sungguh ingin memberikan diriku untuknya. Kenapa ? Aku tidak tahu. Untuk apa ? Aku juga tidak tahu. Keinginan itu muncul tiba-tiba saja. Bukan karena gairah tapi karena aku merasa setiap hari perasaanku semakin bertambah dalam untuknya. (hal. 273)


Yang terjadi pada Srintil justru sebaliknya sebab tak ada rangsangan berahi yang dirasakan oleh Srintil ketika bertemu dengan Waras :


Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan menciuminya. Srintil pasrah saja. Atau geli. Tak ada rangsangan berahi. (hal. 214)


Dan perbedaan yang paling menonjol dalam hal pertemuannya dengan lelaki yang lemah bagi Matsumi adalah ketika akhirnya Matsumi kembali mengembalikan kelaki-lakian Takeda atas hasil jerih payahnya :


“Bagaimana rasanya ?!” tanyaku pada Takeda

“Tidak tahu. Bukankah kau yang merasakannya! Apa kaurasakan ?! Takeda selalu melempar balik pertanyaanku.

“Ya sekarang semakin lama semakin baik. Begini jawabku. (Hal. 274)


Sedangkan Srintil harus kecewa karena ternyata selama dia menjadi gowok bagi Waras, Srintil tak berhasil mengembalikan kelaki-lakian Waras yang hilang. Kekecewaan Srintil atas kegagalan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut :


Sebuah saputangan dalam genggaman Srintil penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak bisa mengusir rasa perih dalam hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakan sepanjang masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi. (Hal. 225)


  1. Naluri keibuan

    • Persamaan :

Pada dasarnya seorang perempuan tidak akan pernah terlepas dari naluri keibuannya, naluri untuk memiliki keluarga bahagia, naluri untuk memiliki seorang anak dari rahimnya. Matsumi dalam PKJ juga mengalami hal sedemikian rupa ketika akhirnya Matsumi hamil oleh Sujono dan memutuskan untuk berhenti menjadi geisha. Berikut kutipannya ketika Matsumi harus menerima penghinaan karena berencana untuk berhenti menjadi geisha :


“Apakah kau lupa bahwa kau geisha tercantik ?! tidak pernah seorang Geisha hamil, melahirkan, dan mempunyai anak. Geisha adalah penghibur! Geisha harus selalu menjaga kecantikan wajah dan keindahan tubuh. Hamil, melahirkan, punya anak akan membuat wajah dan tubuhmu yang indah menjadi rusak…!”(hal. 141)


Demikian naluri keibuan yang dirasakan Srintil juga terlihat ketika dia merasa terhibur dengan keberadaan Goder (anak dari tetangganya) yang lucu dan membuat Srintil kembali bersemangat :


Srintil yang sedang merana secara ragawi maupun rohani bisa menerima keajaiban suasan ayang dibawa oleh si kecil Goder. Meski badannya lemah, dia berusaha duduk dan meminta. Tampi menyerahkan bayinya. Demikian setiap hari bila Tampi menjenguk Srintil di rumah Sakarya. (Hal. 136-137)


Yang jelas celoteh Srintil tentang bayi dan perkawinan hanya sebagai ungkapan perasaan secara emosional, tanpa suatu alasanyang mendukungnya. Lagipula aku merasa rendah diri karena Srintil telah menjadi seorang ronggeng yang benar-benar kaya.Namun seandainya keinginan Srintil memperoleh seorang bayi terdorong ketakutannya menghadapi hari tua. Aku tak bisa berbuat lain kecuali iba. Sangat iba ! (hal. 90)






    • Perbedaan :

Pada akhirnya keinginan Matsumi untuk memiliki seorang anak tercapai ketika dia melahirkan anak dari hasil hubungannya dengan Sujono yang akhirnya bayi tersebut diberinya nama Kaguya :


Dengan persediaan uang yang amat sedikit, aku melahirkan anak perempuanku. Seorang dukun bayi menolongku melahirkannya. Aku melahirkan menjelang matahari terbit. Sepanjang malam aku mengerang kesakitan. Hanya pembantuku yang menemaniku karena Sujono sudah pulang ke rumahnya. (hal. 149)


Keinginan memiliki seorang anak tidak terjadi pada diri Srintil karena sebelumnya Nyai Sakarya yang menjadi dukun Ronggengnya telah memijat indung telur Srintil hingga pecah dan membuat Ronggeng Dukuh Paruk tersebut tidak bisa memiliki seorang anak.

E. Penutup

Dari beberapa paparan mengenai keperempuanan tokoh Matsumi dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang dan tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, maka dapat diketahui bahwa terdapat intertekstual dalam hal cinta, keperawanan, kekuasaan, seksualitas, dan naluri keibuan yang dimiliki oleh kedua tokoh perempuan tersebut.

Persamaan-persamaan yang ditemukan dalam kedua novel tersebut menunjukkan adanya hipogram karya sastra yang meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya karya. (2) konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya; (3) modifikasi adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4) ekserp adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang diresepsi pengarang (Endraswara, 2003:132)

Sedangkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalamnya juga menunjukkan bahwa pada karya sesudahnya terdapat pengembangan yang sifatnya berupa kreatifitas dari pengarang mengenai fenomena-fenomena yang timbul dari karya sebelumnya. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan karya sastra yang serupa tapi tak nampak sama. Sebabnya adalah karena ada sesuatu yang lain diantara keduanya.

DAFTAR RUJUKAN


Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

Lan Fang. 2006. Perempuan Kembang Jepun. Jakarta : Gramedia

Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki (Kajian Komprehensif tentang Gender). Yogyakarta : Jalasutra

Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

______ 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Selden, Raman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogya : Gadjah Mada University Press.

Sitanggang, S.R.H. 2003. Novel Roro Mendut Versi Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana

Tohari, Ahmad. 2004. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta : Gramedia.


1 komentar:

BasRa_Ku mengatakan...

analisis yang cukup luas namun tetap kuat dalam setiap bagiannya. terutama tentang interteksatul. tentu saja sebuah karya sastra tidak mungkin terlepas dari aspek2 lain, baik itu dari karya sastra lain atau dari faktor di luar sastra, jika intertes tersebut dengan karya sastra maka bisa dikatakan bahwa itu adalah sebuah inspirasi yang datang pada dua individu dan dua kepala yang berbeda.