Kamis, 20 Maret 2008

Karma Cinta dalam Naskah Drama "Tjitra"

KARMA CINTA DALAM DRAMA “TJITRA”

Analisis unsur-unsur drama sebagai naskah cerita / teks sastra

oleh : R.A. Hartyanto


A. Pengantar

Sebuah drama pada umumnya menyangkut dua aspek, yakni aspek cerita sebagai bagian dari sastra, yang kedua adalah aspek pementasan yang berhubungan erat dengan seni lakon atau seni teater, kedua aspek ini walaupun sepintas lalu seperti dapat terpisah, yang satu berupa naskah dan yang lain berupa pementasan, namun pada dasarnya merupakan suatu totalitas. Sewaktu naskah tersebut disusun telah diperhitungkan segi-segi pementasannya dan sewaktu pementasan tidak dapat menghindari dari garis unsur naskah.

Untuk mengevaluasi sebuah lakon , maka terlebih dahulu kita harus mengenal unsur-unsurnya dengan baik. Keterkaitan unsur-unsur dalam drama sangat erat hubungannya untuk membangun keharmonisan suatu lakon. Misalkan antara tema dan alur, suatu lakon akan gagal sekalipun mempunyai alur yang baik bila tema yang membarenginya kurang baik atau hampa sama sekali. Kalau tema dan alur sama-sama baik, dan keduanya serasa pula maka dapatlah diharapkan bahwa pementasan lakon itu akan baik dan berhasil. Jadi unsur-unsur drama itu harus dilihat sebagai suatu keseluruhan yang terpadu dan utuh. Tidak dapat disangkal bahwa penting sekali mempelajari serta memahami benar-benar segala unsur drama yang beraneka ragam itu. Tetapi adalah jauh lebih penting dan lebih berguna kalau kita mempelajari serta memahami benar-benar segala unsur itu sebagai keseluruhan yang membangun suatu lakon tertentu. Dengan kata lain, dalam mempelajari setiap unsur itu kita harus melihtnya sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang utuh. (Tarigan, 1989 : 80).





B. Analisis unsur-unsur Drama “Tjitra”

Ringkasan cerita

Tjitra adalah seorang anak pungut yang mulanya tak diketahui namanya, umur, serta orang tua yang sebenarnya. Dia dipungut oleh seorang Ketua Umum Pabrik Tenun Djawa Timur yang bernama Nj. Suriowinoto. Sejak saat itu Tjitra mulai ikut terlibat bekerja di pabrik tenun, pesonanya sebagai gadis remaja ternyata membuat kedua anak Nj. Suriowinoto jatuh hati kepadanya. Sutopo, anak dari hasil pernikahan pertama Nj. Suriowinoto sangat mencintai Tjitra namun tak pernah ia berani mengungkapkan perasaannya pada Tjitra. Berbeda dengan Sutopo, maka Harsono yang merupakan anak dari Nj. Suriowonoto hasil dari pernikahannya yang kedua lebih berani menyangkut masalah perasaan. Dan pada akhirnya kepada Harsonolah Tjitra kemudian menambatkan hatinya meskipun sebenarnya Harsono adalah tipe lelaki yang hanya memikirkan kesenangan dalam hidupnya. Masalah mulai muncul ketika ternyata Harsono memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarganya termasuk Tjitra untuk menikahi seorang janda muda yang kaya raya, tepat saat itu juga ternyata tanpa sepengetahuan Harsono, Tjitra mengandung anak hasil hubungan percintaannya dengan Harsono.

Dengan rela hati akhirnya Sutopo bersedia menikahi Tjitra sekaligus menjadi ayah dari anak yang dikandungnya, beberapa tahun kemudian Harsono datang kembali untuk menebus segala kesalahannya, harta benda peninggalan istrinya yang dulu kaya raya kini telah tiada karena dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Setelah mengetahui bahwa Tjitra telah diperistri oleh Sutopo dan darah dagingnya telah tiada akhirnya Harsono memutuskan untuk ikut bergabung dalam barisan jibaku, dan dengan cara itulah Harsono menebus segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya di masa lalu.

Analisis unsur-unsur drama :

  1. Tema

Sesungguhnya, tema suatu karya sastra (termasuk bentuk lakon) bukan pokok persoalannya, tetapi lebih bersifat ide sentral (pokok) yang dapat terungkapkan baik secara langsung, maupun tak langsung. (Cuddon dalam Indarti, 2006 : 49)

Sedangkan tema yang diangkat pada naskah drama “Tjitra” adalah mengenai karma cinta yang dijalani oleh anak manusia. Meskipun pada akhir cerita juga bisa dikatakan sedikit menyinggung tentang nasionalisme namun bila dirunut dari masalah-masalah yang dimunculkan sejak awal maka semakin mengarah kepada hal-hal yang berhubungan dengan karma cinta bagi anak manusia.

Hal ini bisa dilihat pada diri Tjitra yang telah melakukan kesalahan dengan berhubungan intim dengan Harsono hingga dirinya hamil, kemudian Harsono pergi meninggalkannya. Hubungan sembunyi-sembunyi yang akhirnya menyebabkan dirinya hamil itu pada akhirnya mendapat balasan yakni dengan beratnya beban mental yang harus ditanggung oleh Tjitra mulai dari ditinggal pergi oleh Harsono, hidup dalam keluarga yang kurang harmonis bersama Sutopo setelah sebelumnya acuh pada perasaan cinta Sutopo hingga kemudian Tjitra harus kehilangan buah hatinya.

Hal yang sama juga terjadi pada Harsono, ketika dia pergi meninggalkan Tjitra beserta keluarganya. Seperti pada penggalan dialog berikut ini :


HARSONO : (mendesak) Dan apa ? katakanlah !

TJITRA : (mengelak) Dari kenjataan mungkin ………. tetapi pergilah mas, pergilah ……….datang harinja mas akan datang lagi kesini ………. untuk menebus dosa. (Hal. 36)


Dialog yang berkesan mengutuk dilontarkan Tjitra kepada Harsono yang pada akhirnya Harsono memang benar-benar kembali untuk menebus dosa. Harsono yang telah melakukan kesalahan dengan lebih memilih hidup bersenang-senang bersama janda muda kaya-raya akhirnya juga tak juga menemukan kebahagiaannya hingga akhirnya sang janda muda mati dan harta kekayaannya dilimpahkan pada fakir miskin, Harsono hidup dalam rasa bersalah dan penyesalan, hingga akhirnya dia kembali menemui Tjitra dengan harapan untuk bisa menebus dosa. Maka terbuktilah apa yang pernah diucapkan Tjitra (Dialog diatas).

  1. Amanat

Amanat (message) dalam lakon adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada publiknya. Teknik menyampaikan pesan tersebut dapat secara langsung maupun tak langsung, secara tersurat ataupun secara simbolis (Satoto dalam Indarti, 2006 : 49)

Berangkat dari tema diatas maka dapat dilihat pula amanat drama “Tjitra” ini bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pada akhirnya juga akan ada balasan/akibatnya. Manusia tak seharusnya pergi dari kewajiban terhadap keluarga, terhadap pekerjaan, dan terhadap sesamanya.

  1. Alur (plot)

Alur (plot) adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat). Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menisgerakkan jalan cerita melalui perumitan kearah klimaks dan selesaian (Sudjiman dalam Indarti, 2006 : 50).

Secara khusus, berdasar atas pembagian secara garis besar, tahapan alur menurut Najid (2003 : 21) adalah sebagai berikut :

    1. Paparan (exposition), tahap cerita tempat pengarang mulai melukiskan sebuah keadaan sebagai awal cerita.

    2. Rangsangan (inciting moment), munculnya peristiwa atau kejadian sebagai titik awal munculnya gawatan

    3. Gawatan (rising action), tahapan cerita yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak. Dalam tahap ini konflik secara bertahap mulai terasa. Konflik dapat bersifat pribadi atau social.

    4. Tikaian (conflict), munculnya perselisihan antartokoh karena adanya kepentingan yang berbenturan namun tidak terselesaikan.

    5. Rumitan (complication), tahapan cerita yang menggambarkan konflik-konflik yang muncul mulai memuncak.

    6. Klimaks (climax), tahapan cerita yang melukiskan suatu peristiwa yang mencapai titik puncak. Bagian ini dapat berupa bertemunya dua tokoh yang sebelumnya saling mencari, atau terjadinya pertikaian antara dua tokoh yang saling bermusuhan.

    7. Leraian (failing action), bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan dari semua peristiwa yang telah terjadi pada bagian sebelumnya.

    8. Selesaian (denouement), tahap akhir cerita yang merupakan penyelesaian persoalan.

Sedangkan lebih umum dapat dikatakan bahwa tahapan alur yang terdapat pada naskah drama “Tjitra” adalah sebagai berikut :

  1. Klasifikasi/introduksi, bagian ini memberi kesempatan kepada penonton untuk mengetahui tokoh-tokoh utama seperti peran yang dibawakan mereka, serta memberi pengenalan terhadap permulaan problem/konflik.

Bagian ini dapat dilihat pada permulaan cerita, ketika mulai menginformasikan latar waktu serta perkenalan tokoh-tokoh yang ada dalam bentuk dialog antar tokoh.


SUTOPO : (tersejum) Ja, kita akan bekerdja lagi sekuat-kuat tenaga kita dik. Sudah empat bulan pabrik kita ini terhenti karena perang. Sekarang Pemerintah Balatentara memberi lagi kesempatan seluas-luasja untuk bekerdja terus. Zaman pembangunan sudah datang. (Hal.10)


SUTOPO : Harsono sebenarja baik djuga, tetapi selalu dimandjakan .Orang akan mengatakan aku dengki, kalau aku membitjarakan ini. Sebenarja lebih baik, djika aku diam sadja.(Hal. 12)

  1. Konflik, pelaku cerita mulai terlibat dalam suatu problem pokok. Di sini mulai terjadi insiden. Bagian ini dalam naskah drama “Tjitra” dimulai pada pemunculan Harsono di depan Tjitra dan Sutopo.


HARSONO : Selamat pagi tuan Sep beserta pelajannja jang manis.

SUTOPO : Harsono! Djangan bitjara begitu !

HARSONO : (duduk diatas medja tulis Tjitra) Apa salahnja. Aku berkata jang benar sadja. (mengerling Tjitra) Bukankah anak pungut kita, ratu dapur ini sudah naik pangkat sekarang… djadi pelajan. (hal. 14)


Konflik kemudian semakin mencapai puncak/klimaksnya saat Harsono meninggalkan Tjitra dalam keadaan hamil tanpa pernah Harsono ketahui.


HARSONO : (kesal) Ah engkau hendak mentjoba menakuti aku pula, kau anak pungut jang tak mempunjai asal-usul. (Tjitra diam, hanya memandangnya sadja. Harsono, seolah-olah gelisah dibawah pandangan gadis itu, kemudian tjepat lari keluar. Sedjurus Tjitra tinggal sendirian, berdjuan dalam bathinnya, kemudian ia berlari ke pintu). (hal. 36).


  1. Komplikasi. Terjadinya persoalan baru dalam cerita, beberapa watak mulai memperlihatkan pertentangan saling mempengaruhi dan berkeinginan membawa kebenaran ke pihak masing-masing sehingga krisis berkecenderungan melampaui yang lain, namun satu krisis lebih disebabkan dan diakibatkan oleh yang lain. Itulah sebabnya dinamakan komplikasi.

Bagian ini nampak pada naskah bagian ke III, yakni ketika Sutopo menikahi Tjitra untuk melindungi janin yang dikandungnya dari cercaan masyarakat umum. Namun setelah menikah, Sutopo tidak pernah benar-benar menjadi suami bagi Tjitra karena menganggap bahwa sebenarnya cinta yang dimiliki oleh Tjitra hanya diperuntukkan Harsono. Seperti yang telah digambarkan oleh dialog antara Sutopo dengan ibunya.


NJ. SURIO : Tetapi kau selama ini, tidak pernah djadi suami Tjitra yang benar, Bukan ?

SUTOPO : Tidakkah tjukup akau pandai main kemidi sadja, semuaja ini bukanlah hanja buat orang lain sadja, bukan ? (hal. 45)


  1. Penyelesaian. Setiap segi pertentangan diadakan penyelesaian, dan dicarikan jalan keluar, penyelesaian bisa sedih dan bisa menggembirakan. Bagian ini ada pada akhir cerita, yakni ketika Harsono datang untuk menebus dosanya, dan kemudian masuk barisan Jibaku.


HARSONO : Mas belum pertjaja djuga padaku. Djadikanlah Tjitra isteri mas jang benar! Pertjajalah kepadaku sekali ini ….. pergilah mas kedalam, aku akan pergi sekarang, ja masuk barisan Djibaku mas ! Aku selama ini adalah orang yang berkelana diatas dunia Tuhan ini dengan tidak ada keinsafan sama sekali, tidak ada tanggung djawab, tidak terhadap Tanah Air. Sekarang, terhadap Ibu dan Tjitra mas lah aku minta menunaikan kewadjibannya….. aku mint amaaf mas ….. Terhadap Tanah Air biarkan aku sendiri menunaikannya. Selamat tinggal mas, kirim salam kepada isteri mas dan Ibu. Biarlah beliau tidak bertemu denganku , djuga tidak akan gembira rasanja…..(Ia mengeluarkan tangannya, tetapi tidak diterima oleh Sutopo. Harsono menarik tangannya kembali). (hal. 59)

  1. Penokohan

Penokohan adalah proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementsan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Karenanya, tokoh-tokoh harus dihidupkan. (Indarti, 2006 : 58)

Ada empat jenis tokoh peran yang merupakan anasir keharusan kejiwaan menurut Indarti, yaitu (1) tokoh protagonis peran utama, merupakan pusat atau sentral cerita; (2) tokoh antagonis peran lawan, ia suka menjadi musuh atau penghalang tokoh protagonist yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik) ; (3) tokoh tritagonis peran penengah, bertugas menjadi pelerai, pendamai atau pengantar protagonist dan antagonis; (4) tokoh peran pembantu, peran yang tidak langsung terlibat dalam konflik yang terjadi; tetapi ia diperlukan untuk membantu menyelesaikan cerita.

Dalam naskah drama Tjitra ini dapat dianalisis kedudukan peran dari beberapa tokoh didalamnya ;

    1. Tjitra, sebagai tokoh protagonist. Dalam cerita ini Tjitra adalah pusat atau sentral cerita, dimana dapat dilihat dari pemunculannya dalam cerita yakni dari awal hingga akhir cerita, dan tokoh Tjitra memiliki hubungan dengan hampir seluruh tokoh yang ada pada cerita.

    2. Sutopo dan Harsono, sebagai tokoh antagonis. Keduanya dapat dikatakan sebagai cikal bakal munculnya konflik pada tokoh protagonist (baca : Tjitra). Sutopo yang jatuh hati pada Tjitra, kemudian memunculkan beban mental pada diri Tjitra dengan kesediaannya menjadi suami sekaligus ayah dari anak yang dikandungnya, namun selama itu tidak pernah benar-benar menjadi suami yang baik baginya. Begitupula dengan Harsono yang telah memesonai Tjitra, menghamili Tjitra, kemudian meninggalkan Tjitra dan menikahi perempuan lain hanya untuk mendapatkan hartanya.

    3. Nj. Suriowinoto dan Pak Gondo, sebagai tokoh tritagonis. Kehadiran keduanya dalam cerita selalu memberikan pencerahan atas konflik yang terjadi (selalu meredakan konflik) dan memberikan jalan keluar. Keduanya juga merupakan tokoh penghubung yang memberikan garis singgung cerita (mempertemukan) antara tokoh protagonist dan antagonis.

    4. Tinah, Suwanto, dan Kornel, sebagai tokoh peran pembantu dimana pemunculannya hanya untuk membantu menjelaskan keadaan yang terjadi baik pada tokoh antagonis maupun protagonist. Keterlibatannya pada konflik atau masalah dalam cerita juga tidak terlihat, namun tetap diperlukan untuk melengkapi penyelesaian konflik cerita.

  1. Latar (setting)

Sebuah cerita pada hakikatnya adalah lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu tertentu dan pada tempat tertentu. Atas dasar hal tersebut dapat dikatakan bahwa penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya disebut latar cerita atau setting (Najid, 2003 : 25)

Ada tiga jenis latar yang terdapat dalam naskah drama “Tjitra”. (1) latar waktu yang menunjukkan kira-kira lima bulan sehabis perang di Djawa, sesudah runtuhnya kekuasaan Belanda. (2) latar tempat yang menunjukkan letak geografis pada cerita tersebut adalah di Djawa Timur, ini dapat dilihat dari nama pabrik yang sekaligus merupakan tempat tinggal keluarga Nj. Suriowinoto yakni Pabrik Tenun Djawa Timur. (3) latar social yang menunjukkan latar masyarakat pedesaan, terlihat dari perhatian yang diberikan masyarakat ketika di daerahnya ada janda muda kaya raya yang sedang mencari suami. Perhatian-perhatian terhadap lingkungan sekitar seperti inilah yang biasa digambarkan oleh masyarakat pedesaan.


C. Penutup

Demikianlah pada akhirnya suatu unsur yang membentuk suatu drama kedudukannya sangat penting diantara keberadaan unsur-unsur yang lain yang saling menunjang, begitupula yang terjadi pada naskah drama “Tjitra”. Unsur-unsur drama seperti ; tema, amanat, alur, penokohan, dan latar/setting menjadi satu kesatuan yang harmonis yang harus diperhatikan sebagai suatut totalitas dalam menilai maupun mengapresiasi sebuah karya sastra, khususnya drama.





DAFTAR PUSTAKA




Indarti, Titik. 2006. Memahami Drama Sebagai Teks Sastra dan Pertunjukan. Surabaya : Unesa University Press.

Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya : Unesa University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1989. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa.




6 komentar:

pendidikan dalam bingkai esai mengatakan...

Dian Komalasari
indonesiaselayangpandang.blogspot.com

Karma Cinta dalam Naskah drama 'Tjitra'? Unik n ku juga baru tau kalo cinta itu ada karmanya hehe.......
tapi dalam kamus hidupku kalo bisa kata karma hanyalah menjadi sesuatu hal menjauh.

Bila hidup telah terhadapkan oleh sebuah takdir, mengapa kita harus menggugat atas nama karma?

Balasan yang ditrima seseorang adalah untuk sebuah pencapaian kebermaknaan hidup, bukan atas nama stereotip karma. Dan itulah hidup.

Mungkin kita berbeda haluan tapi senang ku bisa eyel2an hehe......

kata orang dulu'aku lebih senang ila ada seorang pengecam yang bukan seorang musuh' hehe.... U Idol Hehe.....
C U

Fiant_Rina mengatakan...

Rina
featherandfurr.blogspot.com
email: fiant_cute@yahoo.com
rina_ina42@yahoo.com

Kata "cinta" memang selalu lekat dalam kehidupan.
Namun manusia sering salah dalam mengartikan sebuah kata cinta.

Cinta..menurutku tak harus memiliki, tapi sebisa mungkin untuk dapat dipertahankan. Bagaimana caranya???
Aku yakin setiap orang mempunyai cara tersendiri dalam mempertahankan cintanya.
Hanya saja, cinta akan salah maknanya apabila dipertahankan dengan berbagai cara.

Mungkin itulah yang nantinya akan mendatangkan sebuah karma atau balasan
Kita tahu bahwa setiap apa yang kita lakukan akan ada akibatnya.
Kebaikan akan mendatangkan kebaikan, begitu juga sebaliknya."PASTI"

Cinta itu butuh ketulusan.
Namun, tak ada cinta yang tulus melebihi cinta sang bunda kepada anaknya.

Mungkin sang penulis lebih mengerti ya....:)

Succes 4 U

BasRa_Ku mengatakan...

apik eee...

OKTAVIA CATUR HANDINI mengatakan...

we..e..e..e

Anonim mengatakan...

mas aku boleh minta naskah drama tjitra nya ga?
kalo boleh bisa kirim ke emeil aq ga nanimanez@yahoo.com
aku nyari tapi ga ketemu2

Hana mengatakan...

wah apakah aku boleh minta naskah dramanya?