Kamis, 20 Maret 2008

Konfrontasi Budaya Novel "Bumi Manusia"

KONFRONTASI BUDAYA BARAT DAN TIMUR
DALAM NOVEL “BUMI MANUSIA”

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

oleh : R. A. Hartyanto


Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Ia merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah kenyataan budaya. Kehidupan mencakup hubungan antar manusia, hubungan antar masyarakat, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin manusia (Damono, 1984 : 1).

Paparan tersebut menunjukkan bahwa karya sastra tidak berangkat dari ketiadaan budaya. Kode budaya dalam sastra memberi pengertian bahwa karya sastra merupakan wujud hasil budaya yang di dalamnya jelas terepresentasikan nilai-nilai budaya masyarakat.

Seperti yang ditunjukkan Pramoedya dalam novel bumi manusia ini, budaya barat yang berkembang dengan cepat dihadapkan pada budaya timur khususnya budaya Jawa.


Produk Jawa yang dibesarkan Eropa.

Seorang Minke yang merupakan keturunan Jawa digambarkan oleh Pramoedya sebagai pribumi yang berilmu pengetahuan Eropa, dimana pada akhirnya dialah yang dihadapkan pada dua hasil bandingan baik atau buruk budaya Jawa dan Eropa. Ini dapat dilihat pada :


Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu…(hal. 2)”


Juga pada :


Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa pula. Hanya mengapa justru bukan orang Jawa yang membikin aku jadi begini gagah ? dan ganteng ? mengapa orang Eropa ?......(hal. 128)”


Hal yang sama juga terjadi pada Nyai Ontosoroh yang dalam hal ini adalah seorang pribumi namun karena menjadi gundik Herman Mellema, maka secara tidak langsung budaya Eropa tertanam dalam dirinya, terlihat ketika dia membiarkan putrinya tidur sekamar dengan lelaki yang bukan suaminya (Minke) meski dalam budaya Jawa hal itu tidak diperkenankan.


Malu” hanya milik orang Jawa dengan segala kerendahannya

Jangan sekali-kali bicara soal malu tentang Eropa. Mereka hanya tahu mencapai maksud-maksudnya. Jangan kau lupa, Nak, Nyo”(hal 330)


Penggalan tersebut menunjukkan bagaimana Eropa yang tidak pernah tahu malu, berbeda dengan orang Jawa yang selalu memegang teguh kehormatannya meski untuk melindungi kehormatannya itu mereka selalu merendah, pasrah dan tak jarang melatah. Ini karena rasa malu yang dimiliki oleh orang Jawa, takut seandainya pandangan orang lain atas dirinya jatuh.


Ilmu pengetahuan dan hukum Eropa yang buta

Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur sampai pada malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan…(hal. 316)”


Ilmu pengetahuanlah sebenarnya yang membuat Eropa begitu kuat dan berkuasa, sedang orang jawa yang selamanya selalu hanya menunggu hasil cipta bangsa Eropa masih terlihat kebudak-budakan, seperti di bawah ini :


Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting…(hal 143)”


Sedangkan untuk hukum yang mengatur dan mengikat, seakan tidak ada nurani dalam hukum itu sendiri. Apa yang telah diputuskan maka itulah yang harus dijalankan.


Dengan akan dilaksanakannya perampasan terhadap istriku daripadaku sesuai dengan keputusan Pengadilan, bertanyalah aku pada nurani Eropa: Adakah perbudakan terkutuk ini akan dihidupkan kembali ? ………(hal.336)”


Sampai pada akhirnya Minke harus kehilangan seorang istri yang telah dinikahi secara syah, dan kalah pada keputusan pengadilan yang mencoba menginventariskan manusia.

Dari beberapa uraian diatas tergambar jelas bagaimana seorang Minke dalam menghadapi dua budaya sesungguhnya dia lebih menerima cara pandang Eropa yang terbuka untuk maju daripada cara pandang orang Jawa yang selalu merendah, sedangkan untuk hukum, dia lebih menerima hukum jawa yang didasarkan pada etika dan nilai kemanusiaan daripada hukum Eropa yang buta.

1 komentar:

MENAPAK SENJA mengatakan...

Anaisis yang oke... Mas, referensi buku (Damono, 1987:1)pada kutipan itu detailnya apa? Trims... balas ke imelq ya.....