Kamis, 20 Maret 2008

Realitas Sosial Novel Para Priyayi

Realitas Sosial dalam Novel “Para Priyayi”
Karya Umar Kayam

oleh : R.A. Hartyanto


Seperti juga halnya dengan Pramudya Ananta Toer, yang membedakan Umar Kayam dengan pengarang-pengarang lain ialah karena antara lain ia tidak suka mematikan atau menghilangkan tokoh-tokoh ceritanya. Dengan mempertahankan tokoh cerita, tak hanya perwatakan yang kesannya mendalam namun konflik cerita juga terasa disuguhkan dengan optimal.

Dalam novel “Para Priyayi” ini, Umar Kayam mencoba memperkenalkan keberadaan strata Priyayi dalam kehidupan masyarakat Jawa sekaligus juga menawarkan konsep Priyayi “baru” dalam kebudayaan Jawa. Transformasi atau pergeseran inilah yang menjadi titik berat Umar Kayam dalam proses penciptaan novelnya. Masyarakat Jawa yang mestinya “segan untuk berkata tidak, malas berdebat panjang, dan suka kerukunan” mulai bergeser realitanya saat itu. Tetapi juga kontradiksi watak masyarakat urban yang semestinya rasional tetapi ternyata masih dibelenggu mitos masih tetap dipertahankan. Ini terlihat dalam ;

Yang jelas, pada setiap malam hari-hari yang dianggap keramat oleh orang Jawa. misalnya, malam Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon, banyak orang pada Kungkum, berendam di sungai itu.Tentu lagi saya tidak tahu apakah orang-orang yang pada Kungkum itu berharap akan kejatuhan wahyu terpilih sebagai Ratu Adil itu.”(6)


Dalam persoalan Religi, Umar Kayam juga menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Jawa, yaitu ditunjukkan dengan gesekan yang kuat antara agama Islam dan agama Kristen yang digambarkan dengan keinginan salah satu tokoh untuk menikah dengan tokoh lain yang berlainan agama.

Bila dirunut dari awal, permasalahan-permasalahan yang muncul pada keluarga besar Sastrodarsono bisa diibaratkan sebagai “wayang tanpa gunungan”, tidak ada awal dan tak pernah berakhir permasalahan yang menimpa keluarga besar Sastrodarsono. Permasalahan juga selalu berpindah dari satu tokoh ke tokoh yang lain.

Tidak kalah menarik, Umar Kayam juga memperkenalkan praktik Nepotisme dalam kehidupan masyarakat Priyayi, ini tergambar ketika Lantip dalam usahanya untuk membebaskan Hari dan Gadis dari penjara meminta pertolongan Noegroho yang memiliki kontak dengan pejabat-pejabat terkain saat itu.

Nah, kalau begitu, begini Gus. Biarlah saya yang akan ke Plantungan menemui Gadis. Saya optimis akan bisa masuk. saya punya kontak banyak. Pasti mereka akan mau menolong. Lalu saya akan ke Wates menemui orang tua Gadis. Bagaimana kalau begitu ? Sementara itu, ada baiknya kalau Bapak menghubungi Pakde Noeg di Jakarta. Siapa tahu beliau dapat sekali lagi menolong seperti waktu menolong Gus Hari dulu”(293)


Dari segi bahasa terlihat juga bagaimana masyarakat Jawa yang memang memiliki watak “mengambil mudahnya saja”. Seperti dalam hal pengucapan-pengucapan istilah asing yang dirasa sulit seperti “boschwezen” yang menjadi”bosbesem” , “gupermen” yang asalnya dimungkinkan dari kata “government”, “panatik” yang berasal dari “fanatik” serta “Ngaisah” yang aslinya “Aisah”.



Tidak ada komentar: